
DENPASAR, BALIPOST.com – Secara umum hepatitis virus diklasifikasikan menjadi 5 jenis berdasarkan virus penyebabnya. Yaitu, Hepatitis A, B, C, D, dan E.
Masing-masing jenis memiliki karakteristik, cara penularan, dan perjalanan penyakit yang berbeda.
Namun, di antara berbagai jenis hepatitis virus tersebut, Hepatitis B menempati posisi khusus karena prevalensinya yang tinggi dan potensi komplikasi serius yang dapat ditimbulkannya.
Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa (FKIK Unwar), dr. I Putu Arya Giri Prebawa, Sp.PD., menjelaskan di banyak negara berkembang, penularan perinatal dari ibu ke bayi saat persalinan merupakan rute penularan yang paling signifikan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa virus hepatitis B (HBV) termasuk dalam famili Hepadnaviridae dan memiliki DNA sebagai materi genetiknya. Yang membedakan HBV dari virus hepatitis lainnya adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan materi genetiknya ke dalam DNA sel inang, sehingga dapat bertahan dalam tubuh dalam waktu yang sangat lama.
Diungkapkan bahwa penularan hepatitis B terutama terjadi melalui paparan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Di banyak negara berkembang, penularan perinatal dari ibu ke bayi saat persalinan merupakan rute penularan yang paling signifikan.
Ratusan Juta Hidup dengan Infeksi HBV
Secara global, tercatat 254 juta orang hidup dengan infeksi HBV kronis, dengan beban tertinggi di negara berpenghasilan rendah-menengah (65% di Afrika dan Pasifik Barat). Tercatat 1,1 juta kematian pada 2022, terutama akibat sirosis dan kanker hati.
Sedangkan di Indonesia, Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, prevalensi hepatitis B di Indonesia turun dari 7,1% pada 2013 menjadi 2,4% pada 2023. Berdasarkan Survei Kesehatan 2023, terdapat sekitar 6,7 juta orang dengan hepatitis B dan 2,5 juta dengan hepatitis C.
Provinsi seperti NTT, Papua, dan Gorontalo menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya di pulau Jawa.
Dikatakan, virus hepatitis B sangat mudah menular melalui beberapa cara. Pertama, dari ibu ke bayi saat proses persalinan. Ini merupakan cara penularan paling umum di Indonesia.
Bayi yang tertular memiliki risiko sangat tinggi (90%) untuk mengalami infeksi seumur hidup. Kedua, melalui darah. Penggunaan jarum suntik bergantian, alat cukur, atau sikat gigi dengan penderita dapat menjadi media penularan.
Prosedur medis atau non-medis (seperti tato atau tindik) dengan peralatan tidak steril juga berisiko menularkan virus ini. Ketiga, melalui hubungan intim tanpa pengaman dengan penderita. Virus hepatitis B ditemukan dalam cairan tubuh seperti sperma dan cairan vagina.
Giri mengatakan bahwa perjalanan alamiah infeksi hepatitis B sangat bervariasi tergantung pada usia saat infeksi. Pada orang dewasa yang sehat, sekitar 95% kasus infeksi akut akan sembuh sempurna.
Berkembang Jadi Infeksi Kronis
Namun pada bayi yang terinfeksi, 90% akan berkembang menjadi infeksi kronis karena sistem imun yang belum matang. Infeksi kronis seringkali asimtomatik selama bertahun-tahun sebelum akhirnya menimbulkan komplikasi seperti sirosis atau kanker hati.
Banyak penderita hepatitis B tidak menyadari dirinya terinfeksi karena seringkali tidak menimbulkan gejala. Jika ada, gejala yang muncul biasanya ringan dan tidak khas, seperti badan terasa lemas dan mudah lelah, demam ringan, hilang nafsu makan, mual atau muntah, nyeri di perut bagian kanan atas.
Pada kondisi yang lebih berat, dapat muncul gejala kuning pada kulit dan mata, urine berwarna gelap, serta feses berwarna pucat.
Diagnosis hepatitis B didasarkan pada serangkaian pemeriksaan serologi. Tes HBsAg merupakan pemeriksaan awal untuk mendeteksi adanya infeksi.
Pemeriksaan lanjutan seperti HBeAg, anti-HBc, dan HBV DNA diperlukan untuk menentukan fase infeksi dan indikasi pengobatan. Pemeriksaan fungsi hati dan evaluasi derajat fibrosis juga penting dalam penatalaksanaan kasus.
Pengobatan hepatitis B kronis bertujuan untuk menekan replikasi virus dan mencegah progresi penyakit. Obat antivirus seperti tenofovir dan entecavir telah terbukti efektif dengan efek samping minimal. Pemantauan rutin diperlukan untuk menilai respons pengobatan dan mendeteksi kemungkinan komplikasi.
Vaksinasi Cegah Hepatitis B
Vaksinasi merupakan pilar utama pencegahan hepatitis B. Di Indonesia, vaksin hepatitis B diberikan dalam empat dosis sebagai bagian dari program imunisasi nasional.
Skrining pada ibu hamil dan pemberian imunoglobulin pada bayi dari ibu positif merupakan strategi penting untuk mencegah penularan vertikal. Selain itu, praktik kesehatan yang aman seperti penggunaan jarum steril dan hubungan seksual yang aman juga efektif dalam mencegah penularan.
Dikatakan, upaya pengendalian hepatitis B di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Termasuk keterbatasan akses diagnostik dan pengobatan di daerah terpencil, serta kurangnya kesadaran masyarakat.
Program eliminasi hepatitis B yang dicanangkan pemerintah menargetkan penurunan insiden hepatitis B kronis baru dan penurunan mortalitas pada tahun 2030. Pencapaian target ini memerlukan komitmen bersama dari semua pemangku kepentingan dalam sistem kesehatan.
Aspek penting lain dalam penanganan hepatitis B adalah edukasi kepada pasien dan masyarakat. Pemahaman yang baik tentang cara penularan, pencegahan, dan pentingnya kepatuhan pengobatan sangat diperlukan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini.
Kelompok berisiko tinggi seperti tenaga kesehatan, pasangan seksual dari penderita hepatitis B, pengguna narkoba suntik, serta individu dengan riwayat transfusi perlu mendapatkan perhatian khusus dan disarankan untuk melakukan skrining rutin.
“Dengan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, beban penyakit hepatitis B di Indonesia dapat dikurangi secara signifikan di masa yang akan datang,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)