
DENPASAR, BALIPOST.com – Dua puluh dua tahun lalu, Ayu Sila baru berusia 21 tahun. Ia menjadi salah satu korban langsung dari bom Bali 1 tahun 2002. Ia bekerja sebagai kasir di Sari Club ketika kejadian naas itu terjadi.
Saat itu jarak antara lokasi ledakan bom dengan posisinya bekerja sekitar 10 meter. Kejadian itu membuat tangan kirinya mengalami luka bakar cukup dalam.
Ditemui saat sosialisasi perlindungan korban terorisme masa lampau, Kamis (17/7) menuturkan, pada April 2003, enam bulan setelah kejadian itu, wanita asal Negara, Jembrana ini mendapatkan penanganan operasi. Nyeri dari luka bakar yang cukup dalam itu hingga kini masih terasa, ditambah ingatan- ingatan kepanikan kala itu.
Sekian tahun berlalu, pada 2020 an ia baru mendapat kabar soal hak bantuan dari negara bagi korban terorisme. Hampir tiga tahun sejak mendaftarkan diri sebagai korban terorisme, Ayu Sila baru mendapatkan bantuan
Itupun menurutnya, persyaratan cukup sulit dipenuhi. Masalahnya, kejadiannya sudah berlalu begitu lama. Sehingga untuk mendapatkan dokumen pembuktian bahwa dirinya merupakan korban terorisme tidak mudah.
Maksimus, korban korban langsung bom Bali 1 bahkan hingga kini belum mendapatkan akses hak sebagai korban terorisme. Padahal akibat kejadian bom tersebut, tendon kakinya putus. “Sampai sekarang tidak pernah terima kompensasi sebagai korban terorisme,” ujarnya.
Banyak kendala yang dihadapi, tidak hanya dirinya tapi juga teman-temannya. Salah satu kesulitannya adalah pemenuhan berkas-berkas yang dibutuhkan cukup berat mengingat waktu kejadian sudah sangat lama. Adanya hak bagi korban terorisme pun baru ia ketahui 2023, setelah 21 tahun kejadian. Saat itu peringatan bom Bali 1 di Legian, ia tak sengaja datang kesana. Di acara tersebut Gubernur Bali 2008-2018, Mangku Pastika menyampaikan soal hak korban terorisme.
Lina, korban bom Bali 2002 yang jugaa membantu Yayasan Isyana Dewata mengatakan, selama ini memang para penyintas merasakan kendala dalam pemenuhan hak korban terorisme. Untuk Korban tidak langsung bisa mendapat surat kematian agar dapat mengakses kompensasi.
Sedangkan korban langsung untuk mendapatkan hak kompensasi, cukup sulit. Persyaratan yang diberikan oleh negara melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mendapatkan bantuan itu, cukup berat.
“Beruntung administrasi saya waktu itu sangat baik, jadi semuanya bisa dipenuhi. Tapi beberapa teman engga bisa memenuhi persyaratan itu dan ternyata RS Ngoerah belum bisa memberikan surat-surat kalau kami pernah dirawat di RS tersebut. Sekarang ini sulit sekali teman- teman untuk mendapatkan bukti sebagai korban,” ujarnya.
Kabag Humas RS Ngoerah Dewa Ketut Kresna pun mengaku cukup kesulitan untuk memberi surat keterangan pernah ditangani di RS.
“Pasca putusan ini ada 1-2 orang yang datang ke RS Ngoerah untuk mengurus hak kompensaaai. RS Ngoerah kesulitan karena kejadiannya 2002 -2005 yang mana saat itu RS belum memiliki sistem terintegrasi seperti saat ini, ditambah kami saat itu juga belum punya pengalaman disaster,” ungkapnya.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Achmadi mengatakan, putusan MK yang memperpanjang waktu layanan atau permohonan bagi korban terorisme. Maka dari itu dilakukan sosialisasi putusan MK nomor 103/PUU-XXI/2023 atas pengujian materiil Pasal 43L ayat (4) UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang memperpanjang batas waktu pengajuan kompensasi dan bantuan bagi korban hingga 22 Juni 2028.
“Sosialisasi ini penting karena masih ada korban yang belum mendapatkan haknya di berbagai daerah termasuk langkah-langkah unruk mengakses permohonan dan upaya yang dilakukan,” ujarnya.
Selama ini negara telah menyalurkan hak-hak korban sebanyak Rp113 Miliar lebih. Korban terorisme yang sudah dilayani 2022-2025 ada sebanyak 785 orang.
Kompensasi untuk keluarga korban meninggal dunia Rp250 juta, luka berat Rp215 juta, ada kategori luka ringan dan sedang. “Ini hanya untuk korban tindak pidana terorisme masa lalu sejak bom Bali 1 hingga terbitnya UU dan korban tindak pidana yang sudah kita hitung dan proses melalui pengadilan,” bebernya. (Citta Maya/Balipost)