
AMLAPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Lebu di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem tetap melestarikan tradisi yang dimiliki hingga saat ini, yakni menggelar upacara Dewa Yadnya Ngusaba Desa, Ngusaba Dalem dan Nyepi Adat yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Tradisi yang rutin dilaksanakan setiap tahun itu, sebagai bentuk ucapan syukur atas hasil bumi yang memberikan penghidupan bagi masyarakat setempat.
Bendesa Adat Lebu, I Wayan Darmanta, mengungkapkan di setiap pelaksanaan Ngusaba Desa akan dibentuk Sekaa Roras yang berjumlah 12 orang. Anggotanya terdiri dari masyarakat desa, yang biasanya mengajukan diri untuk ngayah selama pelaksanaan Ngusaba Desa. “Ada beberapa persyaratan untuk menjadi Sekaa Roras, misalnya harus sudah menikah, sudah matatah (potong gigi) baik suami maupun istri, serta sudah terjun bermasyarakat. Sekaa roras wajib sudah lepas dari tanggungan orangtuanya. Ini bermakna, mereka sudah siap turun bermasyarakat untuk ngayah secara tulus ikhlas di pura,” ujarnya.
Darmanta mengatakan, Sekaa Roras ini ngayah selama 12 hari dan harus makemit di pura. Uniknya mereka akan tidur di Bale Agung yang pada umumnya sebagai lokasi ditempatkannya pralingga Ida Bhatara. Selama 12 hari juga sekaa roras beraktivitas di Pura Puseh untuk mempersiapkan upacara. “Sekaa Roras ini tidak sembarangan, sebelum memulai ngayah mereka diupacarai. Mereka disucikan sebagai orang terpilih untuk ngayah. Mereka setiap harinya makemit di Bale Agung, itu keistimewaan karena itu tempat yang sangat disucikan,” katanya.
Menurut Darmanta, tradisi Sekaa Roras ini, sebagai bentuk persembahan atau ayahan suci dari masyarakat. Sekaligus meminta pengganti nama, yang tujuannya untuk mempertegas identitas di desa adat serta sebagai pengingat leluhur. Kata dia, Sekaa Roras bertugas mempersiapkan segala sarana untuk upacara Ngusaba. Di antaranya mengumpulkan hasil bumi pala gantung (buah-buahan) dan pala bungkah (umbi-umbian) yang dihaturkan dari masyarakat. Serta menghaturkan jro gede atau atau babi untuk sarana upacara.
“Prosesi lainnya, Sekaa Roras juga bertugas mencari daun aren yang digunakan untuk membuat Sang Hyang Pering yang merupakan manisfestasi Dewi Sri. Dalam mencari daun aren ini, dilakukan dengan prosesi sakral di lokasi yang juga disakralkan. Selain itu, Sekaa Roras mencari daun ini dengan menaiki bukit ke wilayah Jaka Tebel. Dalam nunas daun aren ini, tidak boleh sampai jatuh di tanah. Lalu daun diambil dan dibawa ke Pura Puseh dengan lantunan kidung-kidung suci,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, pada saat pelaksanaan Ngusaba, Sekaa Roras menjalani upacara nunas agentos wasta atau mengganti nama untuk mempertegas identitasnya bermasyarakat di desa adat. Identitas yang digunakan, bisa merujuk ke nama panggilan, atau menyisipkan identitas leluhur. Sebagai pengingat dari keluarga mana dilahirkan. “Pada penutup upacara Ngusaba di Pura Puseh, Sekaa Roras akan mengarak Sang Hyang Pering menglilingi Pura Puseh dan Bale Agung. Disambut sorak sorai masyarakat, yang melempar canang ke arah Sekaa Roras,” imbuh Darmanta. (Eka Parananda/balipost)