Arsip - Seorang pekerja membongkar muatan kapal berupa berbagai jenis ikan yang sudah dibekukan untuk diekspor, di Pelabuhan Benoa, Bali. (BP/Ant)

DENPASAR, BALIPOST.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump tetap akan memberlakuan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap Indonesia mulai 1 Agustus 2025. Tidak hanya itu, Donald Trump akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen pada kelompok negara berkembang BRICS.

Kebijakan ini oleh pengamat ekonomi akan menambah angka PHK  secara nasional dan ekspor unggulan  Bali ikut terdampak. Menyikapi kondisi tersebut, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara, Selasa (8/7) menyampaikan, bila ditotal dari tarif resiprokal 32 persen kemudian Indonesia gabung BRICS itu tambahannya 10%. Indonesia bisa  jadi sampai kena tarif 42%.

“Itu kan berarti tidak ada kemajuan dari sisi negosiasi yang telah dilakukan,” katanya.

Bhima mengatakan sebelumnya Celios mencoba menghitung kalau pengenaan 32% maka output ekonomi turunnya Rp164 triliun, kemudian pendapatan tenaga kerja turunnya Rp52 triliun, ekspor turunnya Rp105,9 triliun. Selanjutnya, mengakibatkan terjadinya penurunan serapan tenaga kerja 1,2 juta orang.

“Jadi ini cukup signifikan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia karena beberapa sektor padat karya masih bergantung pada Amerika Serikat. Seperti alas kaki pakaian jadi dominan ke Amerika,” jelasnya.

Dia mengatakan, pemerintah Indonesia harus segera melakukan beberapa upaya. Pertama, mencoba untuk mendorong diversifikasi tujuan pasar ekspor.

Baca juga:  Tren Peningkatan COVID-19 Terjadi, Positivity Rate Pekan Ini Sudah Lampaui Standar WHO

Salah satunya ke intra ASEAN, kemudian penetrasi lagi ke negara BRICS atau ke daerah lain misalnya di Timur Tengah, Amerika Latin maupun Asia Selatan. Intinya pemerintah harus terus melakukan perluasan pasar ekspor.

Efek PHK Massal

Tak kalah penting perlu disiapkan efek terhadap PHK selama masa transisi diversifikasi ekspor itu. PHK massal ini harus dimanajemen di industri padat karya mengingat dari awal sudah bilang bahwa insentif yang diberikan pemerintah itu terlalu kecil, bantuan subsidi upahnya kecil, PPH 21-nya juga masih terbatas untuk beberapa sektor.

“Jadi yang harus dilakukan oleh pemerintah itu memberikan paket kebijakan yang lengkap termasuk untuk pemberian diskon tarif listrik pada sektor industri padat karya sampai 40% selama 1 tahun,” terangnya.

Kemudian, tambah Bhima, juga proteksi terhadap produk-produk impornya mengingat Permendag yang terbaru ini masih disusun. “Jadi kita masih melihat apakah aturan Permendag lebih berkualitas daripada Permendag sebelumnya,” imbuhnya.

Kemudian soal bantuan subsidi upah (BSU) harus diberikan ke sektor yang memang orientasi pasar Amerika Serikat sebesar minimum Rp600.000 per bulannya. Jadi selama 3 bulan berarti Rp600.000 dikalikan 3 bulan. Menurutnya itu untuk mencegah terjadinya masalah dan juga penurunan daya beli masyarakat, terutama di kantong-kantong industri padat karya.

Baca juga:  Sukseskan Pilkada 2020, KPU Tabanan Gandeng Diskominfo

Ditambah kemudian PPH 21 karyawan yang ditanggung pemerintah itu bisa diperluas. Terakhir, penguatan pasar dalam negeri yang sebenarnya paling penting dilakukan.

“Kebijakan efisiensi anggaran juga harus dievaluasi ulang, dan harus bisa ditekan sehingga di dalam negeri bisa ada konsumsi yang lebih kuat lagi untuk mencegah dampak dari perang tarif yang ternyata merugikan Indonesia,” ucap Bhima.

Ekspor Unggulan Bali

Pengamat Ekonomi, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., mengatakan, Amerika menjadi salah satu mitra dagang utama bagi Bali selama ini. Terutama untuk produk-produk kerajinan, perhiasan perak, tekstil, pakaian adat hingga kopi dan rempah.

“Pemberlakuan tarif pajak sebesar 32 persen oleh AS terhadap produk-produk asal Indonesia diperkirakan akan memberikan dampak cukup signifikan terhadap kinerja ekspor. Termasuk bagi produk ekspor unggulan dari Bali,” katanya.

Dengan kenaikan tarif tersebut, lanjut Guru Besar Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) ini akan membuat

daya saing produk Bali di pasar Amerika akan menurun. Hal tersebut dikarenakan harga jual tentu akan menjadi lebih tinggi dibandingkan produk dari negara pesaing yang tidak dikenai tarif serupa.

Kondisi tersebut bisa berpotensi menggeser permintaan konsumen Amerika ke produk substitusi dari negara lain, sehingga dapat mengancam keberlanjutan pesanan dan kontrak dagang yang telah berjalan dengan eksportir asal Indonesia selama ini.

Baca juga:  Karena Ini, Promosi Pariwisata Badung ke LN Distop

Industri kecil menengah (IKM) menurutnya yang menjadi tulang punggung ekspor Bali juga akan terdampak, karena sebagian besar tidak memiliki kapasitas untuk menanggung beban tambahan akibat tarif tinggi.

Di sisi lain, Prof. Raka juga mengungkapkan ada sisi positif dari pemberlakuan kenaikan tarif tersebut. Ialah kebijakan tarif itu dapat mendorong pelaku ekspor di Bali untuk mencari pasar alternatif di negara- negara yang memberikan preferensi tarif lebih rendah atau menjalin kerja sama dagang yang lebih menguntungkan.

“Meski demikian, penyesuaian pasar membutuhkan waktu dan biaya, sehingga dalam jangka pendek, kebijakan pajak 32 persen ini kemungkinan besar akan melemahkan volume dan nilai ekspor Bali ke AS, serta menimbulkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yang mengandalkan sektor ekspor non-migas,” katanya.

Menurutnya, dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah sangat dibutuhkan agar pelaku ekspor Bali mampu beradaptasi dengan perubahan ini.

Berdasarkan data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Bali, nilai ekspor Bali ke AS pada 2025 khususnya Januari-Maret mencapai USD 28 juta. Jenis produk yang dieskpor yakni, perikanan, kerajinan, tekstil dan sebagainya.  (Suardika/Widiastuti/bisnisbali)

BAGIKAN