Alat berat memindahkan sampah yang menumpuk di TPA Suwung, Denpasar. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali masih kesulitan menemukan lahan lokasi pengganti TPA Suwung. Peneliti dari Universitas Udayana menyebut lokasi Waste to Energy (WtE) lebih baik dilaksanakan di area TPA Suwung existing dibanding lokasi baru di tempat lain.

Guru Besar Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof. I Nyoman Suprapta Winaya mengatakan, penanganan sampah harus segera dilakukan. Jika peluang itu lewat sampai 2026, Bali akan mengalami ancaman darurat sampah.

“Karena kalau kita bangun di tempat lain, ada hidden cost yang fantastis. Bayangkan, 1.000 ton lebih sampah per hari harus diangkut dari Denpasar ke kabupaten lain, itu membutuhkan sekitar 100-120 truk bolak-balik setiap hari,” ungkapnya, Selasa (8/7).

Suprapta mengatakan jika dihitung biaya transportasi saja bisa mencapai Rp50 miliar sampai Rp100 miliar per tahun. Belum lagi dampak lalu lintas, keausan jalan, dan emisi kendaraan.

Sementara di Suwung, infrastruktur transportasi sudah ada sejak 40 tahun dan masyarakat pun dinilai sudah beradaptasi dengan kondisi itu. Paling penting, waste mining untuk sampah lama juga bisa dilakukan bersamaan.

Baca juga:  Setelah Berhasil Olah Sampah Jadi Pupuk Organik, TOSS Manfaatkan Lindi

Waste mining itu seperti tambang emas di TPA lama. Sampah yang sudah terdegradasi bertahun-tahun di Suwung, setelah di-mining dan diproses, nilai kalorinya meningkat signifikan, dari 6.000 kJ/kg menjadi 8.000-10.000 kJ/kg.

“Ini sangat bagus untuk bahan bakar WtE. Jadi kita bisa bersihkan sampah lama sekaligus dapat bahan bakar berkualitas tinggi. Total ada sekitar 1,78 juta ton sampah lama yang bisa di-mining,” ujarnya.

Selain lokasi, yang perlu dicermati juga ada skema pembiayaan yang memungkinkan dilakukan. Menurutnya, ada beberapa opsi menarik yang bisa dilakukan. Yaitu, skema KPBU (Kerjasama Pemerintah-Badan Usaha) dengan Danantara sebagai sovereign wealth fund.

Modelnya, Danantara meng-cover Capital Expenditure (Capex) sekitar 70-80 persen, sisanya ditangung swasta. Sementara PLN komit membeli listriknya dengan harga USD13,35 cent per kWh.

Baca juga:  Pengguna Sabu Ditangkap, Pemasok DPO

Skema kedua yaitu, swasta murni. Model investasi ini berasal dari swasta 100 persen, sementara pemerintah membayar tipping fee Rp500.000 per ton dan swasta juga menjual listrik ke PLN. Biasanya jangka waktu kontrak 25 tahun dengan DBOO (Design-Build-Own-Operate).

Skema ketiga, hybrid model seperti yang direncanakan Jakarta, kolaborasi PLN dengan Pemda yang mana PLN menghandle teknis pengelolaannya sedangkan Pemda meng-handle waste supply dan tipping fee.

Dengan produksi sampah 1.000 ton per hari, bisa menghasilkan 20-28 MW listrik dengan aliran pendapatan 50 persen dari penjualan listrik, 30 persen dari tipping fee, dan 20 persen dari material recovery. Maka Internal Rate of Return (IRR) bisa mencapai 25 persen dengan periode pengembalian investasi 3-4 tahun.

“Skema KPBU paling aman secara politik karena ada government backing, jika dilakukan swasta murni, dan bisa lebih cepat eksekusinya tapi butuh jaminan pemerintah untuk off-take agreement. Yang penting, semua skema ini bankable karena ada multiple aliran pendapatan,” paparnya.

Baca juga:  2021, Pembangunan PLTSa Suwung Ditarget Rampung

Di satu sisi, TPA Suwung yang rencananya ditutup 2026, membuat  Waste to Energy urgen dilakukan. “TPA Suwung dengan sistem open dumping rencana ditutup 2026. Masalahnya, kalau kita tidak punya solusi pengolahan untuk sampah fresh yang datang setiap hari ditambah sampah lama yang sudah menumpuk selama puluhan tahun, ya .. penutupan akan terhambat terus,” sebutnya.

Dengan WtE di lokasi yang sama, pengerjaan bisa dilakukan bertahap yaitu, fase 1 waste mining sambil membangun WtE, fase 2 operasional penuh untuk sampah fresh, dan fase 3 area bekas TPA jadi eco-park.

Sehingga menurutnya timeline yang realistis adalah 3-4 tahun. “Kita harus realistis. Denpasar sudah tidak bisa lagi mengandalkan TPA konvensional atau teknologi setengah-setengah. Sampah 1.000 ton lebih per hari itu bukan main-main. Perlu keberanian mengambil keputusan besar untuk solusi modern,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN