Tari Poleng Canglongleng di Desa Adat Dukuh Penaban dipercaya mampu menjinakkan wabah penyakit. (BP/ist)

AMLAPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Dukuh Penaban, Karangasem, memiliki tari sakral yang hingga saat ini masih terus dilestarikan oleh warga setempat yakni tari Poleng Canglongleng. Tarian ini tidak sembarangan dipentaskan, tetapi hanya pada hari-hari tertentu.

Bendesa Adat Dukuh Penaban I Nengah Suarya, Minggu (22/3), menuturkan, tari Poleng Canglongleng berawal dari terjadinya bencana di daerah ini sekitar tahun 1721 Caka. Saat itu, terjadi wabah yang menyebabkan banyak warga yang meninggal dunia. Dari sinilah ada sebuah pawisik bahwa Ida Bhatara harus katuran manggung.

Baca juga:  Pascaperistiwa Bule Menari Telanjang di Gunung Batur, Desa Adat Gelar Mecaru

“Tari Canglongleng mengisahkan ketika dulu Desa Dukuh Penaban mengalami gerubug. Setelah itu, ada orang pintar di desa mendapat pawisik untuk mengusir gerubug itu. Dilakukan upacara mecaru dengan manggung Ida Bathara dengan busana poleng atau hitam putih sambil bersorak-sorak. Setelah tarian itu dipentaskan, berangsur-angsur lenyap. Dari situlah muncul kreasi warga untuk membuat tarian Baris Poleng Canglongleng yang sampai sekarang masih dilestarikan,” ucap Suarya.

Baca juga:  Amankan Dua Pintu Masuk Bali, Polres Karangasem Tambah Personil

Tari Poleng Canglongleng dipentaskan setiap purnama kapat, purnama kepitu, purnama kedasa, umanis Kuningan dan paing Kuningan. Tarian ini ditarikan di Pura Puseh Dukuh Penaban.

Kaitannya dengan wabah virus yang merebak saat ini, Suarya menegaskan pementasan tari Poleng Canglongleng  perlu dikaji kembali. Sebab, pada zaman dulu kondisi fisiknya berbeda dengan sekarang. ”Dalam kondisi saat ini, dilematis apakah tarian ini dipentaskan. Perlu penelitian, jangan sampai menimbulkan masalah baru,” jelasnya.

Baca juga:  Warga Timbrah Gelar Ritual "Nyaga"

Kendati tidak dipentaskan, kegiatan upacaranya tetap dilaksanakan yakni upacara pecaruan amanca di catus pata, pacaruan brumbun di setra, pacaruan brumbun di Pura Dalem dan  pecaruan biing di Pura Prajapati. ”Upacara ini akan dilakukan pada 24 Maret nanti. Jumlah krama terbatas, mengikuti imbauan pemerintah,” tegas Suarya. (Eka Parananda/balipost)

BAGIKAN