Ilustrasi. (BP/ist)

Oleh Agung Jayalantara

Pernah kita mendengar sempat ada wacana yang menguat di masyarakat terkait dibentuknya KPK di setiap daerah di seluruh Indonesia. Akan tetapi mungkin masyarakat tidak menyadari sebenarnya fungsi KPK telah lama dibentuk di setiap daerah oleh Presiden Joko Widodo.

Apa itu? Ya adanya ‘’Satgas Saber Pungli’’ yang merupakan bentukan Presiden berdasarkan Perpres No. 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar tanggal 20 Oktober 2016, yang selanjutnya dibentuk pada setiap daerah berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, maka di seluruh jajaran Kementerian, TNI, Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK), Kesekretariatan Lembaga Negara dan Lembaga Nonstruktural (LNS), Provinsi, Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dibentuk Kelompok Kerja dan Sekretariat Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (SSP) yang selanjutnya disebut Unit Pemberantasan Pungutan Liar (UPP).

 

Jumlah Unit Pemberantasan Pungutan Liar (UPP) Kementrian/Lembaga dan daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/kota dengan total UPP berjumlah 436 dengan kegiatan di antaranya sosialisasi sebanyak 1.185.021 kegiatan di seluruh Indonesia, Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebanyak 25.123 kegiatan dengan tersangka sejumlah 38.064 orang, kegiatan intelijen sebanyak 7.318 kegiatan, dan yustisi sebanyak 3.465 kegiatan, ungkap Tri Soewandono saat mewakili Menkopolhukam Mahfud MD pada acara Rapat Kerja Nasional Satgas Saber Pungli di Bogor, Jawa Barat, Senin 9/12/2019 (sumber  https://jpp.go.id tanggal 12 Januari 2020).

Dari data tersebut di atas sebagian besar merupakan hasil OTT, sehingga dengan tingginya kasus yang ditangani menunjukkan bahwa upaya penindakan masih menjadi upaya dominan yang dilakukan Satgas Saber Pungli/UPP terutama di daerah. Karena saat ini penilaian terhadap keberhasilan OTT atau upaya penindakan oleh Satgas Saber Pungli/UPP masih dijadikan tolok ukur keberhasilan kinerja satuan tugas tersebut.

Baca juga:  Dahlan Iskan Penuhi Panggilan KPK

Sekarang ada rencana Menkopolhukam Mahfud MD akan memperpanjang SK Satgas Saber Pungli hingga April 2020 yang mana SK tersebut telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2019, selanjutnya beliau akan mengkaji ulang kinerja Satgas Saber Pungli dengan memperbaiki semua lini guna optimalisasi pemberantasan korupsi. Terkait rencana ini, Penulis kurang sependapat jika tolok ukur menilai kinerja Satgas Saber Pungli didasarkan pada jumlah perkara yang ditangani.

Menurut penulis, tolok ukur keberhasilan jangan ditentukan berdasarkan kuantitas/jumlah perkara yang ditangani, akan tetapi untuk menilai keberhasilan Satgas Saber Pungli maka Menkopolhukam harus kembali melihat wewenang/tujuan dibentuknnya Satgas Saber Pungli. Sebagaimana salah satu fungsi Satgas Saber Pungli yaitu membentuk ‘’sistem pencegahan’’ (tugas yang sama dengan KPK), maka penulis lebih menekankan untuk bobot menilai kinerja Satgas Saber Pungli sebenarnya terletak pada keberhasilannya dalam melaksanakan tugasnya (dari sisi pencegahan), sehingga dinilai/diukur dari seberapa banyak sistem pencegahan yang pernah diciptakan oleh Satgas Saber Pungli/UPP tersebut atau minimal berapa banyak sistem pencegahan yang pernah direkomendasikan oleh Satgas Saber Pungli/UPP kepada pemangku kebijakan terkait.

Satgas Saber Pungli/UPP jangan terpaku berapa jumlah OTT yang berhasil dilakukan, justru pola pikir tersebut diubah dengan ‘’berapa sistem pencegahan korupsi yang telah diciptakan di daerah’’. Yang mendasari pemikiran penulis tersebut terkait tolok ukur efektivitas pemberantasan korupsi adalah merujuk pada salah satu fungsi Satgas Saber Pungli yaitu ‘’Pencegahan’’ (pasal 3 huruf b Perpres 87/2016). Untuk itu penulis akan mengulas hubungan antara utilitarianism dengan penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan yang akan dikaitkan dengan Deterrence (Pencegahan).

Penjatuhan pidana kepada pelaku telah dianggap efektif untuk menekan tingkat kejahatan, namun ada juga yang berpendapat bahwa penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan tidak memberikan efek jera atau tidak memengaruhi tingkat kejahatan yang terjadi. Dalam pandangan ‘’Utilitarian’’ bahwa penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan dibenarkan untuk membuat sebagian besar masyarakat (kelompok mayoritas) merasa aman atau untuk memaksimalkan perlindungan hak atau bahkan keduanya (Jeffrie G. Murphy and Jules L. Coleman). Namun, dari sisi Deterrence/Pencegahan didasarkan pada konsepsi rasional perilaku manusia di mana individu-individu bebas memilih alternatif tindakan untuk meminimalkan terjadinya tindak pidana.

Baca juga:  Ekonomi Berbasis Komunitas

Sebenarnya upaya penegakan hukum tidak hanya dapat dilakukan setelah tindak pidana terjadi, akan tetapi dapat dilakukan sebelum tindak pidana tersebut terjadi, sehingga menurut penulis dengan meminjam pandangan di bidang kesehatan ‘’lebih baik mencegah penyakit daripada mengobatinya’’, maka Satgas Saber Pungli harusnya lebih menekankan fungsi pencegahan daripada penindakan. Dengan adanya upaya pencegahan/preventif, maka menurut penulis akan mengurangi kesempatan untuk melakukan pelanggaran, yang berimbas dapat menekan seminimal mungkin terjadinya tindak pidana (pungli/korupsi).

Kembali pada pandangan penulis bahwa ‘’tugas Satgas Saber Pungli (terutama yang di daerah) sama beratnya dengan tugas yang diemban oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)’’, di mana beratnya? Nah, selama ini yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat serta anggota Satgas Saber Pungli bahwa tugas mereka hanya melakukan penindakan yaitu Operasi Tangkap Tangan (OTT), sehingga mereka terlena dengan kegiatan OTT saja.

Jika dilihat ketentuan dalam Pasal 4 huruf a Perpres No. 87 Tahun 2016 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Saber Pungli mempunyai wewenang ‘’membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar’’ (tugas ini ada dalam tatanan urutan yang pertama). Sementara KPK memiliki tugas ‘’melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi’’ (Pasal 6 huruf a UU No. 19 Tahun 2019 – tugas KPK ini sekarang ada pada urutan pertama yang mana dalam UU sebelumnya ada pada urutan ke-4), selanjutnya langkah dan upaya pencegahan dijabarkan dalam Pasal 7 UU No. 19 Tahun 2019.

Baca juga:  Buntut OTT di Semarang, KPK Tetapkan 10 Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Kereta Api

Artinya pemerintah berkeinginan, baik itu Satgas Saber Pungli maupun KPK lebih mengutamakan membangun sistem atau melakukan tindakan upaya pencegahan korupsi. Dari tatanan bahasa saja sudah jelas kalau antara Satgas Saber Pungli dengan KPK sama-sama memiliki tugas yang berat yaitu ‘’membangun sistem pencegahan pungli/korupsi’’ (pungli sama dengan korupsi karena napasnya sama yaitu penggelapan dan suap). Berbicara sistem, berarti kita bicara pada tatanan kebijakan, sehingga harusnya tugas berat ini lebih banyak ditekankan pada pemangku kebijakan, untuk dapat mengambil kebijakan, memperbaiki, dan menutup celah-celah korupsi.

Satgas Saber Pungli harus mampu menciptakan serta merekomendasikan sebuah sistem pencegahan korupsi kepada pemangku kebijakan. Contoh sederhana dari penulis adalah tentang pengelolaan parkir pada pasar tradisional (PD Pasar). Jika selama ini retribusi parkir kendaraan yang masuk pasar dilakukan secara manual, tentu kemungkinan besar terjadi pungli di sana, bisa saja kendaraan masuk pasar membayar retribusi parkir namun oleh petugas parkir tidak diberikan karcis parkirnya, sehingga uang yang masuk tersebut bisa saja digelapkan oleh petugas parkirnya.

Lalu sistem apa yang dapat direkomendasikan Satgas Saber Pungli/UPP? Dalam rapat-rapat Satgas Saber Pungli/UPP harusnya dibahas tentang sistem pencegahan pungli parkir tersebut, sehingga hasilnya Satgas dapat merekomendasikan kepada kepala pasar untuk menerapkan sistem parkir dengan menggunakan alat penghitung otomatis, maka antara jumlah kendaraan yang masuk dengan uang retribusi yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan.

Penulis, mahasiswa S-3 FH Universitas Hasanuddin

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *