subak
Petani sedang menunjukkan tanaman yang rusak akibat hama tikus. (BP/dok)

Oleh Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., MMA.

Pembagunan saat ini belum mampu mengangkat kesejahteraan petani seperti yang diharapkan oleh para petani dan keluarganya. Salah satu indikasinya adalah tiadanya cita-cita keluarga petani untuk menjadi petani karena nilai tukar petani (NTP) yang tidak seimbang dengan kegiatan ekonomi nonpertanian. Selain itu, tantangan ke depan adalah semakin menyusutnya lahan-lahan pertanian akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi.

Padahal, penduduk yang berkecimpung dalam sektor pertanian adalah masih relatif tinggi dan potensi pengembangan lahan-lahan pertanian (tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan) sangat baik seiring dengan perbaikan teknologi pertanian. Oleh karena itu, diperlukan terobosan baru di dalam membangun pertanian, khususnya yang berkenaan secara langsung dengan peningkatan kesejahteraan petani.

Salah satu langkah yang cukup jitu dalam menangani masalah pertanian tersebut adalah meningkatkan daya saing petani yang berkenaan dengan adanya jaminan pendapatan yang memadai, jaminan keterkaitan usaha dengan sektor kegiatan ekonomi di luar pertanian, dan jaminan kelangsungan usaha, sehingga mampu mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan paradigma yaitu dengan menempatkan pembangunan pertanian sebagai basis utama sekaligus sebagai muara dari seluruh aspek kegiatan pembangunan dengan dimensi pembangunan sumber daya manusia (petani).

Baca juga:  Berbicara dengan Hati

Basis Pembangunan

Sebagai negara agraris, pembangunan sektor pertanian dalam arti luas (tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan), baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal hendaknya benar-benar menjadi basis dalam pembangunan dengan beberapa alasan yang sangat mendasar. Di antaranya adalah: sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarga petani dan nonpetani, pemanfaat produk-produk yang dihasilkan oleh sektor nonpertanian, pendukung kebutuhan sektor nonpertanian, penyedia kesempatan kerja dan berusaha, dan lain sebagainya.

Pembangunan hendaknya diawali dengan mendorong sektor pertanian untuk bergerak dan berproduksi dengan menggunakan sentuhan-sentuhan teknologi pertanian yang modern dengan memerhatikan local knowledge dan kelembagaan lokal yang ada, seperti subak-subak, subak abian, kelompok ternak, kelompok nelayan. Pemberdayaan masyarakat petani yang diperlukan adalah menjadikan model aktivitas yang menempatkan mereka menjadi pusat pengembangan itu sendiri yaitu menjadi subjek dan objek pembangunan.

Peningkatan pendapatan penduduk yang relatif besar di sektor pertanian, akan mampu meningkatkan daya beli mereka terhadap kebutuhan-kebutuhan hidup yang dihasilkan oleh sektor di luar pertanian dan sektor pertanian itu sendiri. Selain itu, masyarakat petani akan dapat meningkatkan investasi/modal usahanya untuk semakin mengembangkan usaha pertaniannya. Selanjutnya, akan berkontribusi bagi pembangunan nonpertanian.

Baca juga:  Integrasi Transportasi Publik

Diupayakan agar kebijakan-kebijakan pembangunan nonpertanian memberikan manfaat yang signifikan bagi tumbuhnya dan terwujudnya tujuan pembangunan pertanian sebagai muaranya. Misalnya, melalui pembangunan prasarana dan sarana pertanian dan irigasi (mendukung kegiatan produksi dan pascapanen), pembangunan kelembagaan (dari tingkat desa sampai ke provinsi) yang memberikan manfaat bagi pengembangan pertanian, seperti jasa pelayanan finansial, penyuluhan, pembinaan-pembinaan, pengolahan produk, pemasaran, kemitraan usaha dan lain sebagainya.

Dengan demikian akan tercipta suatu cycle atau lingkaran keterkaitan antara sektor pertanian dengan nonpertanian yang memberikan pertumbuhan pada sektor pertanian dan berimbas pada pertumbuhan sektor nonpertanian juga. Selain itu, pelayanan kesehatan, pendidikan dan aspek lainnya yang melekat pada masyarakat petani agar diberikan prioritas sehingga harkat mereka semakin terangkat dan selanjutnya akan tetap bertahan pada sektor pertaniannya yang semakin berkembang.

Sehingga, akan terjadi saling memercikkan efek yang positif di antara sektor pertanian dengan nonpertanian, dan tidak lagi ada istilah trickle down effects yang telah dikumandangkan sejak dahulu. Dengan demikian, pembangunan di masa depan diharapkan mampu menempatkan sektor pertanian sebagai andalan dengan mengembangkan program-program yang secara cepat menghasilkan dan mampu menggerakkan kegiatan ekonomi produktif secara lokal dan regional.

Baca juga:  Beralih ke Pertanian, Masih 72 Persen Tanah Bali Dapat Digarap

Di antaranya adalah peningkatan produksi dan nilai tambah produk-produk pertanian, menciptakan kesempatan kerja produktif yang sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat, dan meningkatkan kegiatan off-farm yaitu kegiatan industri rumah tangga dan kerajinan rakyat di perdesaan yang memanfaatkan produk-produk pertanian. Ini berarti pengembangan pertanian yang dimaksud adalah agroindustri.

Pembangunan pertanian tidak hanya menjadi tugas Kementerian Pertanian karena tergantung juga pada faktor dan kebijakan yang berada di luar kewenangannya, seperti kebijaksanaan makro ekonomi yang meliputi kebijaksanaan moneter, fiskal, prioritas pembangunan, penanganan inflasi, dan ketenagakerjaan, kebijaksanaan pengembangan infrastruktur dan sarana publik yang menunjang pertanian.

Sehingga, diperlukan adanya koordinasi yang baik antar-instansi terkait, dan bahkan diperlukan kesamaan pandangan tentang agriculture-led development  untuk mempercepat pembangunan pedesaan, mengurangi kemiskinan, memperbaiki kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pangan.

Penulis adalah Rektor Undwi

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *