Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) mengikuti debat capres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2). (BP/ant)

Oleh Romi Sudhita

Orang sering berdebat untuk mencari jawaban atas pertanyaan “apakah diskusi dan debat itu sama?” Pertanyaan ini muncul karena ada sebagian orang yang mengaburkan antara pengertian debat dengan diskusi. Jika berbeda di mana letak perbedaan tersebut?

Puluhan tahun silam, penulis masih ingat benar, dalam suatu penataran di IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang), seorang penatar “berlabel” profesor, yakni Prof. J.F. Tahalele, M.A., melontarkan pertanyaan kepada peserta penataran, apakah sama antara debat dengan diskusi? Mungkin ia tak sabaran, lalu pertanyaan yang diajukannya dijawab sendiri dengan mengatakan tidak sama.

“Debat itu tidak sama dengan diskusi,” katanya berulang-ulang. Dalam kehidupan sehari-hari, lebih-lebih pada dunia persekolahan dan kampus perguruan tinggi acap kali kita menjumpai kedua istilah tersebut (debat dan diskusi).

Siswa dan atau mahasiswa sering berdiskusi sesama rekannya dalam suatu topik yang dianggap menarik, bahkan diskusi itu “dipatenkan” sebagai salah satu metode pembelajaran yang masih tergolong inovatif.

Beda halnya dengan debat. Setelah membuka-buka beberapa referensi, akhirnya ditemukan bahwa debat atau perdebatan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keyakinan dengan berbagai argumen yang melandasinya. Peran utama hadirin (yang mendengar perdebatan) adalah ikut mengkaji dalam hati argumen-argumen yang sempat muncul dalam perdebatan. Dan, biasanya, perdebatan itu lebih mengutamakan kemenangan ketimbang kebenaran.

Itu pulalah sebabnya mengapa debat itu sering diidentikkan dengan debat kusir. Debat sering berlangsung secara ngalor-ngidul, tidak berujung pangkal, apalagi yang tanpa moderator atau pemandunya. Kalau sudah demikian, jangan harap ada suatu keputusan atau kesimpulan yang dapat diambil.

Debat terkadang membawa ekses yang tidak diharapkan lantaran satu sama lain tidak ada yang mau mengalah. Dapat dicontohkan di sini bahwa dua orang yang berdebat sengit tentang erupsi gunung berapi seperti halnya Gunung Agung. Pihak pertama berargumentasi bahwa erupsi tak bakalan terjadi karena hampir semua warga di Bali mendoakan seperti itu. Sementara pihak lainnya sangat yakin akan terjadi erupsi, bahkan lebih dahsyat dibandingkan letusan tahun 1963.

Baca juga:  Malu jika Konflik Politik Terus-terusan Mendera Indonesia

Biasanya, orang yang jago ngomong dan pintar bersilat lidah lebih unggul dibandingkan dengan yang bertipe sebaliknya yaitu kurang lancar bicaranya dan sedikit gagap. Lalu, bagaimana dengan diskusi?

Guna melihat apa sesungguhnya debat, ada baiknya disinggung di sini tentang masalah diskusi. Diskusi sifatnya lebih membangun dan mendorong lahirnya pendapat dan pernyataan-pernyataan yang sifatnya masuk akal. Diskusi mengkristalisasi buah pikiran secara bersama-sama yang nantinya akan menjadi keputusan dan aksi dari keputusan tersebut. Dari diskusi itu akan dipetik beberapa manfaat seperti (1) Menjamin adanya pendapat umum yang dilakukan secara demokratis, (2) Mengembangkan kualitas moral seperti ketulusan, persahabatan, dan sifat tenggang rasa, (3) Membuktikan bahwa ide dan gagasan yang lahir berbasis demokrasi dan bukannya dari segelintir orang.

Di samping diskusi itu berlangsung secara umum pada suatu masyarakat, ternyata sejak lama pula diskusi itu digunakan oleh bapak/ibu guru sebagai metode pembelajaran di dalam menyampaikan bahan ajar kepada para siswanya di kelas.

Yang perlu diperhatikan oleh pemimpin diskusi  ketika berperan sebagai penengah yaitu memerhatikan setiap ide atau buah pikiran dari para anggota diskusi yang satu sama lain tidak sama, malah lebih sering bertentangan. Dengan cara ini dapat dijamin bahwa diskusi tidak akan berubah menjadi debat kusir.

Baca juga:  Soal UMP, Gugatan Eks Gubernur DKI Anies Baswedan Kalah Di Tingkat Banding

Fungsi pemimpin diskusi adalah pengatur lalu lintas pembicaraan. Ketika diskusi dianggap sebagai metode pembelajaran yang inovatif, maka sejumlah keunggulan atau keuntungan dapat dipetik seperti antara lain; (1) Metode diskusi melibatkan seluruh siswa/mahasiswa secara langsung dalam proses pembelajaran, (2) Setiap siswa/mahasiswa dapat menguji tingkat pengetahuan dan penguasaan bahan belajarnya masing-masing, dan (3) Metode diskusi dapat menumbuhkan dan mengembangkan cara belajar dan sikap ilmiah yang efektif.

Debat untuk Menang?

Lalu bagaimana dengan debat? Dilihat dari sifatnya, debat dapat digolongkan menjadi dua yakni debat tertutup dan debat terbuka. Namanya juga debat tertutup, penyelenggaraannya amat dibatasi terutama bagi yang ikut mendengarkan jalannya debat. Komponen debat sudah ditentukan siapa-siapa saja yang menjadi peserta debat, penyelenggaranya siapa, dananya dari mana, dan auidence atau pendengarnya siapa-siapa saja.

Beda halnya dengan debat terbuka yang secara bebas debat bisa disaksikan oleh siapa saja, meski pesertanya sudah ditentukan sebelumnya. Sebut saja sebagai suatu contoh yaitu debat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang pada tanggal 17 Maret mendatang akan memasuki debat yang ketiga, dari lima paket debat yang  direncanakan.

Walau dikatakan debat terbuka, namun dalam hal-hal tertentu ada pula yang dirahasiakan oleh penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Yang jelas, pertanyaan-pertanyaan yang disusun dan diajukan para panelis dibungkus dalam amplop bersegel. Pernah penulis dengar di sebuah televisi ada semacam usulan agar debat tersebut tidak menyertakan pemandu atau moderator. Sulit dibayangkan apa jadinya jika usulan itu bisa disetujui.

Baca juga:  Bupati Tamba Sampaikan Jawaban Pandangan Umum Fraksi

Bisa-bisa akan berlangsung “brutal’’. Kalau dibandingkan dengan pertandingan tinju yang sudah ada wasitnya, pertandingan bisa kacau, apalagi jika debat yang tanpa pemandu atau moderator. Syukur-syukur usul itu ditolak dan dimentahkan oleh aturan yang sudah dibuat dan disepakati sebelumnya oleh masing-masing tim pemenangan paslon (pasangan calon).

Dalam debat terbuka capres-cawapres rupanya sangat menarik bagi penonton, pendukung paslon, dan pemirsa televisi lantaran kegiatan tersebut disiarkan secara live. Kembali ke pokok persoalan, apakah debat itu ada kalah dan ada menangnya? Secara formal, dalam debat capres-cawapres, sepengetahuan penulis, KPU tidak pernah mengumumkan bahwa akan ada pemenangnya.

Tapi bisik-bisik di akar rumput ternyata ada juga yang memberikan penilaian bahwa paslon nomor 01 lebih unggul dan pantas dinyatakan pemenang, atau sebaliknya paslon nomor 02-lah yang jadi pemenangnya. Kalau sudah demikian, lalu apa yang dijadikan tolok ukur kalah-menang dari debat tersebut?

Jawabannya, tentu amat subjektif, dalam arti tergantung dari visi dan persepsi mereka. Terlepas dari ada tidaknya peserta yang kalah atau menang, yang paling beruntung dengan adanya debat adalah penonton/pemirsa dan seluruh rakyat Indonesia yang sudah berstatus DPT (daftar pemilih tetap). Dikatakan demikian karena debat demi debat mereka (pemilih) akan mendapatkan suguhan yang menarik tentang program-program yang ditawarkan kedua paslon. Selain itu, mereka juga merasa terhibur lantaran jawaban-jawaban yang dikemukakan paslon tidak jarang yang nyeleneh. Klimaksnya ada pada tanggal 17 April untuk mencoblos satu dari dua paslon.

Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *