Ogoh-ogoh. (BP/dok)

Oleh I Gusti Agung Gede Artanegara

Badan tinggi besar berwajah seram. Masyarakat Bali mengenalnya sebagai manifestasi bhuta kala – energi yang timbul dan mengakibatkan kegelapan terwujud dalam karya seni patung yang merepresentasikan bhuta kala berupa ogoh-ogoh.

Kemunculan ogoh-ogoh memiliki banyak versi, ogoh-ogoh digunakan dalam kegiatan pitra yadnya – upacara yang ditujukan kepada roh leluhur yang telah meninggal pada masa Dalem Balingkang abad ke-11. Ada pula pendapat mengatakan bahwa ogoh-ogoh terinspirasi dari Ngusaba Ndong-Nding di Desa Selat, Karangasem dan beberapa orang percaya jika ogoh-ogoh muncul sekitar tahun 1970-an di Denpasar.

Semakin dekatnya pangerupukan semakin masif beredar foto maupun video ogoh-ogoh di media sosial maupun konvensional yang berskala lokal maupun nasional. Pangerupukan merupakan rangkaian upacara menyambut hari raya Nyepi yang jatuh pada tilem kesanga sesuai dengan kalender caka. Proses pangerupukan adalah perlambang oposisi biner – rwa bhineda, pangerupukan dimaknai sebagai upacara mengusir bhuta kala yang dilaksanakan sehari menjelang Nyepi pada saat sandyakala berupa pecaruan selesai proses macaru maka kegiatan selanjutnya yang ditunggu-tunggu adalah menyaksikan parade ogoh-ogoh.

Pascakedatangan seniman luar negeri seperti Nieuwenkamp, Walter Spies, J.R. Bonnet, Le Mayeur, Antonio Blanco, dan lainnya, secara tidak langsung, telah membangkitkan dan memperkenalkan seniman alam di Bali. Bali saat ini terus menghasilkan seniman-seniman muda salah satunya adalah seniman ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah subkultur kebudayaan Bali yang identik dengan pelibatan anak muda. Kenapa demikian, karena pembuatan ogoh-ogoh hampir 99 persen dilakukan oleh anak muda di masing-masing banjar ataupun kelompok. Seniman muda Bali ini meluapkan secara tulus imajinasi dan kreasi ke dalam ogoh-ogoh yang dibuatnya. Hal ini sesuai dengan konsep Homo-imaginarius – manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan melakukan imajinasi.

Baca juga:  Bupati Gianyar Dukung Pawai Ogoh - Ogoh

Pada tahun 2004 dan 2009 sempat pawai ogoh-ogoh ditiadakan dengan alasan agar situasi tetap aman dan kondusif menjelang pemilihan umum. Sedangkan tahun 2019 ini ogoh-ogoh tetap dilaksanakan walaupun pemilu akan berlangsung pada bulan April. “Memang sepertinya kurang gereget saja jika pangerupukan tidak ada pawai ogoh-ogoh,’’ ujar Kadek Yogi salah satu pemuda dari Gianyar.

Dari segi pariwisata, ogoh-ogoh sudah menjadi bagian dari paket liburan religius hari raya Nyepi yang telah digembar-gemborkan oleh biro perjalanan wisata maupun hotel untuk menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara untuk menikmati rangkaian hari raya Nyepi. Ketenangan tanpa adanya deru kebisingan menjadi kenikmatan sendiri para pencinta sunyi. selain hal itu, parade ogoh-ogoh tidak hanya dinikmati bagi pelaku pariwisata tetapi pedagang kecil lainnya merasakan imbasnya dari parade ogoh-ogoh sehingga perputaran ekonomi berjalan dengan baik.

Baca juga:  Tantangan Privatisasi Pantai Bali

Sosial masyarakat selama proses pembuatan ogoh-ogoh ini menjadi semakin erat, yang disebabkan simbolisasi bhuta kala ini sepertinya menjadi ikon tersendiri bagi krama banjar maupun kelompok. walaupun para orang tua tidak ikut terlibat secara langsung dalam pembuatan ogoh-ogoh tetapi mereka berharap yang terbaik dari hasil seniman muda ini. Ada kebanggaan luar biasa pada saat anak-anak muda ini mengarak ogoh-ogoh yang disaksikan oleh ratusan warga.

Perkembangan ogoh-ogoh sempat melangkahi pakemnya dengan menggunakan bahan styrofoam dengan alasan proses pembuatan cepat dan bentuk ekspresif yang ingin ditampilkan lebih dinamis serta penggunaan sound system dengan lagu yang masyarakat mengenalnya sebagai musik jedag jedug (house music). Tetapi setelah perjuangan dari seniman ogoh-ogoh dan dukungan dari pemerintah daerah maka penggunaan styrofoam dilarang karena menyebabkan kerusakan lingkungan serta diharuskannya menggunakan gamelan tradisional bukannya musik yang memekikkan telinga sehingga kesannya kurang elok.

Terlepas dari kejadian seperti di atas, pemanfaatan teknologi sudah dipikirkan oleh seniman-seniman muda ini. Ogoh-ogoh yang awalnya bersifat statis mulai dikembangkan dengan inovatif yang mampu bergerak pada bagian rangkanya walaupun masih digerakkan secara mekanik manual. Tetapi dua tahun terakhir ini, penggunaan mikrokontroler – chip yang berfungsi sebagai pengontrol rangkaian elektronik dan dapat menyimpan program di dalamnya telah diimplementasikan pada ogoh-ogoh yang dikolaborasi dengan teknologi google assistant ataupun dengan sensor mulai dikembangkan walaupun masih sangat sedikit yang menerapkannya.

Baca juga:  PTM, Optimalisasi Peran Keluarga

Kolaborasi antara boneka dan teknologi robotika seperti itu sebenarnya sudah lama berkembang yang dinamakan dengan animatronika. Menurut Ensiklopedia Bebas Wikipedia, animatronika adalah penggunaan robot untuk menirukan manusia atau binatang, atau untuk membuat suatu benda mati seperti memiliki sifat makhluk hidup. Hasil dari animatronika dinamakan animatronik. Animatronik yang terkenal salah satunya adalah karakter Dinosaurus dalam film ‘’Jurassic Park’’. Jika ingin melihat animatronik lainnya di luar negeri bisa mengetikkan kata kunci “transworld halloween” pada youtube maka muncullah bermacam-macam animatronik menyeramkan.

Belum banyak dilirik teknologi animatronika di Indonesia, karena animatronika ini merupakan penggabungan antara seni dan teknologi mekanik. Alangkah berpeluangnya seniman muda Bali dalam menerapkan animatronika pada kearifan lokalnya ogoh-ogoh.

 

 

Penulis, Pemerhati Budaya Kemendikbud RI

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *