Ilustrasi. (BP/istimewa)

Kita juga tentu sangat paham bahwa negeri ini disibukkan berbagai macam kegiatan politik. Hajatan politik bahkan terjadi hampir sepanjang tahun dengan durasi yang melelahkan. Prosesnya amat panjang. Biayanya juga tinggi. Potensi konflik juga terbuka. Setelah Pilkada lewat, kita akan disibukkan lagi oleh Pemilihan Presiden dan wakil rakyat April 2019.

Pemilih di negeri ini akan mendapat lima lembar kartu suara. Ada pemilihan presiden dan wakilnya, pemilihan anggota DPD, pemilihan DPR RI, pemilihan DPR Provinsi, dan pemilihan DPRD kabupaten/kota. Membayangkan jumlah surat suara saja kita sudah akan ribet. Padahal, dalam urusan menentukan hak pilih tak perlu ribet. Masuk TPS dan coblos.

Namun, faktanya tak segampang itu. Banyak rakyat di negeri ini sudah dicekoki berbagai analogi. Persaingan tagar Ganti Presiden yang sedemikan panas belakangan ini tentu akan tambah mendidih menjelang Pilpres.

Di daerah, persaingan antarcalon legislatif juga akan panas. Transaksi juga tetap berpotensi terjadi. Ini tentu bukan hal yang gampang dikelola jika rakyat di negeri ini tak diedukasi untuk mengelola pesta politik secara bijak.

Baca juga:  Tunjukkan Perbatasan sebagai Wajah Terbaik Indonesia

Rakyat harus dibina agar cerdas dalam berpolitik, agar politisi yang dipercaya nanti benar-benar paham dengan NKRI. Politisi dan media massa jangan terus melakukan propaganda politik yang ujungnya berpotensi menimbulkan dikotomi antara kelompok nasionalis dan non-nasionalis.

Yang jelas, kita harus membangun kesadaran utuh bahwa pesta politik merupakan salah proses menuju perbaikan lewat regenerasi kepemimpinan. Pengelolaan pesta yang baik dan bermartabat tentu akan mengantarkan kita pada pilihan politik yang berkualitas.

Sayangnya, sering kali kita gagal menerjemahkan pesta politik ini. Kegagalan mengelola pesta politik memang bisa disebabkan banyak faktor. Salah satu di antaranya kemalasan kita menggunakan hak pilih. Banyaknya angka golput pada setiap pesta politik membuktikan masih banyak pemegang suara yang malas ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Baca juga:  Mengelola Politik Secara Beretika dan Berbudaya

Kondisi ini atau gejala ini tentu harus segera dinetralisasi. Kemalasan menggunakan hak pilih dengan tidak mendatangi bilik TPS tentu merupakan kerugian bagi kita. Ketika orang dengan caranya memilih pemimpin dan wakilnya untuk periode lima  tahun ke depan, maka kita mestinya rela meluangkan waktu untuk datang ke TPS.

Kita jangan sampai menjadi pemilih yang golput. Ini tak bijak dalam  pengelolaan pesta politik yang bertujuan untuk mencari pemimpin bangsa. Maka ajakan yang paling pas untuk terus digemakan adalah mari datangi TPS dan gunakan hak pilih.

Dalam konteks mengelola hak suara tentu ada banyak hal yang harus dipertimbangkan baik secra logika maupun kekerabatan. Kita janganlah menjadi pemilih yang dikendalikan karena uang dan janji-janji pragmatis. Idealisme tentu harus kita kedepankan dalam menggunakan hak pilih.

Baca juga:  Inovasi Pembelajaran dan Aspirasi Guru

Pilihan yang didasari transaksional jangan sampai menghancurkan pesta politik itu sendiri. Mari kita tolak cara–cara transaksional dalam demokrasi politik 17 April mendatang. Jadilah pemilih bijak setelah mencermati paparan dan kinerja para calon yang akan merebut suara pemilih.

Khusus bagi pemilih di Bali, maka ada baiknya juga kita cermati visi-misi para kandidat baik itu calon legislatif, DPD, maupaun calon presiden. Kita tentu sangat berharap bahwa calon yang terpilih berpihak pada kepentingan Bali.

Keterwakilan Bali dalam menyampaikan aspirasi krama Bali ke pusat nantinya hendaknya dijabaran oleh orang-orang yang paham Bali. Jangan sampai kita dengan jumlah pemilih yang relatif kecil, justru malas datang ke TPS. Mari datangi TPS dan pilih wakil rakyat yang paham Bali dan tentukan pemimpin bangsa ini secara bijak, bukan lewat transaksi.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *