Pansus Ranperda tentang Desa Adat menggelar rapat. (BP/dok)

Saat ini, hangat dibicarakan soal Ranperda Desa Adat untuk menggantikan Perda Desa Pakraman. Kelihatannya perubahan nama ini sederhana namun banyak hal jelimet yang perlu dikoordinasikan dan diharmonisasi.

Namun, langkah Gubernur Bali Wayan Koster untuk memperkuat desa adat patut diacungkan jempol. Makanya nama Ranperda Desa Adat juga diselaraskan dengan masyarakat hukum adat sebagai bentuk payung hukum keberadaan desa adat di Indonesia.

Kita ketahui desa adat/pakraman di Bali sudah teruji menjadi otonomi pemerintahan desa yang serbalengkap. Di sini, ada pendukung adat Bali, dengan ketentuan dan aturan serta sanksi yang lengkap juga. Uniknya di Bali, semua program pemerintah letak kunci suksesnya ada di desa/banjar adat.

Justru prajuru adat yang lebih tuyuh dibandingkan prajuru dinas. Makanya dalam Ranperda Desa Adat, kita berharap prajuru adat mulai dari banjar adat dan desa adat harus mendapatkan perhatian lebih. Baik dari segi kesejahteraan maupun tunjangan lainnya.

Baca juga:  Membudayakan Komunikasi Mengawal Desa Adat

Bayangkan untuk menertibkan penduduk pendatang saja, klian dinas atau kadus tergantung pada prajuru adat. Bahkan, sampai biaya konsumsi ditanggung banjar adat.

Sementara itu, prajuru adat saat ini masih menerapkan konsep ngayah demi krama. Makanya dalam pemilihan prajuru adat, banyak warga yang menghindar karena dipastikan padat kegiatan tak dapat apa-apanya. Baru Pemkot Denpasar yang memberikan tunjangan kepada prajuru adat banjar, itu pun nilainya masih kecil.

Alangkah bijaksananya jika fee pajak yang dulu diterima oleh kadus kini diserahkan ke prajuru adat. Sebab, jika diberikan ke kadus hanya dinikmati seorang, sedangkan jika diberikan ke prajuru adat dinikmati 4-6 orang prajuru. Kedua, para prajuru adat ini perlu diposkan gajinya di APBD, bisa juga termasuk dalam Dana Desa atau bantuan untuk desa adat. Jika demikian, makin bergairah krama Bali mau menjadi prajuru adat.

Baca juga:  Desa Adat dan Kelurahan Ubung Memonitor Penduduk Non Permanen

Ada hal yang perlu dikritisi dalam pembahasan Ranperda Desa Adat yakni menggunakan Trilogi Soekarno dan pendirian lembaga pendidikan Hindu. Soal Trilogi Bung Karno yang selama ini tak lekang oleh zaman sebaiknya digantikan dengan konsep Hindu yang sudah diakui dunia internasional yakni Tri Hita Karana (THK).

THK ini di dalamnya sudah mengandung Trilogi Soekarno. Jadi, agar tak terkesan politik dan politik itu berubah-ubah sebaiknya menggunakan THK yang diterima secara universal.

Di Ranperda Desa Adat yang esensinya untuk mensinergiskan desa adat dan desa dinas sebagian sudah berjalan. Namun dalam pembangunan lembaga pendidikan Hindu, perlu dicermati bersama.

Sebab, selama ini sudah banyak lembaga pendidikan nasional namun berbasis Hindu. Yang belum ada adalah lembaga pendidikan murni Hindu yang anggarannya dari Departemen Agama.

Baca juga:  Perjanjian Perkawinan Wanita Bali

Makanya jangan heran anggaran Depag banyak jatuh ke sekolah berbasis agama non-Hindu. Kita di Bali belum memiliki lembaga semacam Madrasah, dengan tingkatan pendidikan dasar dan menengah dengan nama Hindu. Jika ranperda ini memberikan kebebasan untuk mendirikan sekolah Hindu (bukan di bawah Depag), ya… sama saja kita mendirikan sekolah biasa hanya modelnya berbeda. Justru peran ini sudah dilakoni pemerintah.

Untuk menjadikan perda ini holistik dan tepat guna, kita tak boleh alergi dengan kritikan dan menerima segala jenis masukan. Semakin banyak pihak terlibat memikirkan ranperda ini akan semakin baik.

Kunci utamanya yakni pemerintah harus membangkitkan semangat kemandirian desa adat. Program pembangunan harus berpihak kepada masyarakat adat merupakan salah satu faktor kebangkitan gerakan masyarakat adat di Indonesia.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *