Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Wayan Kerti

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Media komunikasi yang dipergunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan ataupun bahasa tulisan. Komunikasi adalah hal terpenting untuk berbagi kabar, perasaan, atau informasi lainnya.

Komunikasi akan berjalan efektif jika kedua arah mengerti dengan simbol-simbol atau lambang yang dituju oleh bahasa yang dipilih oleh pemakainya. Di era dunia tanpa batas ini, komunikasi secara lisan maupun tertulis intensitasnya sangat tinggi terjadi setiap hari, utamanya dengan adanya sarana telekomunikasi handphone (HP).

Komunikasi bisa terjadi secara lisan atau tertulis. Komunikasi secara tertulislah paling intens terjadi dewasa ini. Kehadiran HP dengan android  mobile system telah membuat masyarakat menjadi komunikan atau penikmat aktif proses komunikasi. Berbagai aplikasi yang tersedia pada model handphone tersebut membuat masyarakat kecanduan untuk berkomunikasi setiap harinya.

Pertemanan terjadi tanpa jarak, tanpa batas-batas strata sosial, umur, maupun golongan. Masyarakat seakan kecanduan membuat status pada akun-akun pribadinya atau mengomentari status atau tautan teman-temannya, seperti di line, face book, whatsApp, dsb.

Menyimak berbagai status atau komentar dari pengguna media sosial, utamanya di face book (FB) dalam berbagai kesempatan, sering membuat saya kebingungan dengan maksud dari kata-kata yang dipilih atau dipakai oleh pihak-pihak yang berkomunikasi. Ungkapan atau istilah seperti: GWS, OTW, BTW, HWD, Amor Ring Acintya dan sejenisnya, sangat sering saya temukan.

Ketika seseorang mengunggah sebuah status, misalnya ia sedang sakit (apakah di rumah/di rumah sakit) maka teman-temannya kompak akan memberikan ucapan, seperti: “GWS, ya!”. Ketika ada status sebuah resepsi pernikahan, para pertemanan “dunia maya” tersebut akan memberi komentar: “HWD, ya! Moga langgeng.

Itu adalah sebagian kecil istilah status para penikmat dunia maya di akun media sosial, yang membuat kita merenung akan makna yang tersirat di balik ungkapan-ungkapan yang dirujuk. Saya tidak malu untuk bertanya kepada seseorang yang saya anggap gaul di dunia maya tentang maksud dari istilah-istilah tersebut.

Baca juga:  Gerakan Bali Menabung Air

Dengan lancarnya dia memberikan penjelasan lewat pesan singkat, yang ternyata semua itu adalah singkatan-singkatan, bahkan berasal dari bahasa asing, misalnya: 1) GWS singkatan dari get well soon yang artinya “semoga cepat sembuh”. Ungkapan ini sering digunakan oleh orang-orang untuk mengungkapkan rasa simpatinya. 2) OTW singkatan dari on the way yang artinya “dalam perjalanan”. Ungkapan ini digunakan ketika kita sedang dalam perjalanan atau sedang ditunggu oleh seseorang. 3) BTW singkatan dari by the way yang artinya “ngomong-ngomong”. Ungkapan ini sering sekali digunakan oleh anak-anak muda dalam mengobrol. 4) HWD singkatan dari happy weeding yang artinya “selamat menempuh hidup baru”. Ungkapan ini diberikan kepada pasangan yang sedang melangsungkan pesta pernikahan. 5) Amor Ring Acintya, istilah ini populer di kalangan pemeluk Hindu, yang sesungguhnya berarti “menuju ke dalam situasi ketiadaan atau tidak tampak”. Ungkapan ini diberikan kepada status seseorang yang terlihat telah meninggal dan diucapkan sebagai bentuk rasa turut berdukacita.

Sebagai guru bahasa Indonesia, saya jadi teringat akan istilah-istilah/ungkapan tersebut merupakan jargon sebagai bentuk variasi bahasa.

Gorys Keraf mengatakan bahwa kata jargon mengandung beberapa pengertian. Pertama-tama jargon mengandung makna suatu bahasa, dialek, atau tutur yang dianggap aneh atau kurang sopan. Tetapi istilah itu dipakai juga untuk mengacu semacam bahasa atau dialek hibrid yang timbul dari percampuran bahasa-bahasa, dan sekaligus dianggap sebagai bahasa perhubungan atau lingua franca.

Makna yang ketiga mempunyai ketumpangtindihan dengan bahasa ilmiah. Dalam hal ini, jargon diartikan sebagai kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu, dalam bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau kelompok-kelompok khusus lainnya (Keraf, 1986: 107).

Baca juga:  Mari "Gila" Membaca

Oleh karena jargon merupakan bahasa yang khusus sekali, maka tidak akan banyak artinya bila dipakai untuk sesuatu sasaran yang umum. Keraf menyarankan agar unsur-unsur jargon dihindari dalam sebuah tulisan umum. Namun, faktanya penggunaan jargon-jorgon seperti itu sangat marak terjadi setiap saat di media sosial, khususnya face book. Apakah mereka saling memahami komunikasi tersebut?

Hanya mereka yang berkomunikasi yang tahu. Bisa saja di antara mereka memang saling memahami maksud dari jargon yang dipakai, tetapi mungkin juga malah hanya latah memilih menggunakan jargon-jargon tersebut agar tidak terlihat “kuper” untuk jargon bagi mereka yang dianggap kurang pergaulan. Jika mengacu kepada saran Gorys Keraf di atas, komunikasi-komunikasi menggunakan jargon-jargon di media sosial, kususnya face book sebaiknya dihindari.

Menulis memang merupakan sebuah seni tersendiri, seni yang mengandalkan bahasa tulis untuk memberikan informasi, pendapat, argumen atau ide-ide yang ada pada seseorang yang dituangkan dalam sebuah kalimat. Karena facebook adalah media sosial yang sangat terbuka untuk umum dari berbagai strata sosial dengan tingkat usia, pendidikan, dan latar belakang sosial budaya yang berbeda, hendaknya pemakaian jargon-jargon setidaknya dikurangi agar komunikasi berlangsung efektif.

Tulisan yang baik merupakan tulisan yang dapat menyalurkan informasi yang bermanfaat dan mudah dipahami oleh pembacanya. Ketika kita menulis, hendaknya menyesuaikan dengan tema tertentu dan sesuai dengan target pembacanya, misalkan target pembacanya adalah siswa Sekolah Dasar (SD) maka bahasa tulis yang kita pakai adalah bahasa anak SD.

Lalu, apa dampaknya pada dunia tulis-menulis, khususnya di media sosial? Jelas sekali dampaknya bahwa apabila memakai bahasa jargon dalam dunia tulis-menulis yang dibaca oleh orang awam atau bukan bidangnya, tentu akan sangat membingungkan dan membuat sebuah tulisan tidak efektif dalam menyampaikan suatu informasi kepada pembaca.

Baca juga:  Gateway Manusia dan Barang, Bandara Rawan Tindak Kejahatan

Maka dari itu, menulis hendaknya harus menggunakan bahasa yang sederhana, kesederhanaan dalam penulisan sangat disarankan untuk penulisan di media massa karena media massa memberikan informasi kepada orang banyak. Bahasa Jargon dipakai pada komunitas atau organisasi serta lingkungan tertentu, yang bertujuan untuk memudahkan komunikasi antar-anggota dan merahasiakan komunikasi antar-anggotanya supaya apa yang mereka katakan tidak diketahui oleh orang lain (dirahasiakan).

Jika kita merasa bangga dan ingat dengan bahasa kita sendiri, yaitu bahasa Indonesia, mengapa jargon HWD kita tidak ganti saja dengan “Selamat Menempuh Hidup Baru!” atau GWS diganti saja dengan “Semoga Cepat Sembuh!” Begitu juga dengan istilah-istilah lainnya yang sesungguhnya ada dalam kosa kata bahasa Indonesia sehingga semua lapisan masyarakat yang membaca akan memahami dengan baik maksud tulisan tersebut. Janganlah latah berjargon hanya karena tidak ingin kelihatan kurang pergaulan.

Marilah kita banggga dengan bahasa kita sendiri, yaitu bahasa Indonesia. Apalagi jika dirunut dalam sejarah perjuangan bangsa kita, bahwa bahasa Indonesia menjadi peran sentral bagi tumbuhnya rasa persatuan di kalangan masyarakat kita yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa daerah untuk berjuang melawan penjajah sehingga kita bisa menikmati alam kemerdekaan seperti sekarang ini.

Bahasa kita memang bersifat terbuka untuk menerima pengaruh dari bahasa asing maupun bahasa daerah. Namun, kita juga mesti selektif menerima pengaruh masuknya kosa kata  tersebut yang memang benar-benar kita butuhkan karena ketiadaan dalam khazanah kosa kata bahasa Indonesia.

Penulis, Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMP/MTs Kabupaten Karangasem, guru SMP Negeri 1 Abang

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *