Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menghadapi era MEA Perbankan pada 2020, Perbankan harus berani berinvestasi ke IT. Karena era MEA tahun 2020, IT merupakan kuncinya.

Akibatnya, tenaga kerja perbankan juga akan berkurang. “Dunia perbankan lama-lama akan digital. Setahun lalu ketika saya pergi ke Melbourne, dalam surat kabar di Australia menyebutkan bank di Australia dalam waktu 3 tahun akan berkurang jumlah tenaga kerjanya. Saya analisa kenapa? digital penyebabnya, dan Indonesia sudah mulai digital sekarang. Ada gopay, OVO, dll,” demikian disampaikan Pengamat Perbankan dari Undiknas Prof. Gede Sri Darma, Sabtu (22/12).

Dengan demikian, otomatis tenaga manusia akan berkurang. Maka di 2020, ketika industri perbankan boleh masuk, mau tidak mau industri perbankan di Indonesia harus mampu menghadapi.

Perbankan di Indonesia harus memperkuat sistem IT nya. “Karena kalau engga kuat investasi di IT, ditinggal oleh nasabahnya. Karena IT adalah dasar kepercayaan. Karena uangnya nanti cashless bahkan menjadi cryptocurrency kalau bitcoin diijinkan oleh BI,” tandasnya.

Baca juga:  Warga Bali Terpapar COVID-19 Tambah 3 Digit, Korban Jiwa Capai Puluhan Orang

Nantinya tidak ada lagi uang tunai. Transaksi akan cashless. Belanja atau transaksi nantinya cukup menggunakan QR code.

Bahkan untuk pembukaan rekening pun bisa melalui online. Semua transaksi perbankan menuju ke digital. Dari sisi tenaga kerja pun tidak lagi membutuhkan tenaga kerja yang banyak.

“Sekarang mana ada bank murni Indonesia, kecuali Bank BUMN seperti BNI, BRI, BTN, Mandiri dan BCA. Yang lainnya sudah diakuisisi. Maybank, OCBC sudah dimiliki Jepang, Danamon, BTPN dengan Jepang, Commonwealth. Bank buku III sudah diakuisi. Otomatis bank kita sekarang sudah bukan milik kita sendiri,” beber Rektor Undiknas ini.

Ke depan dengan adanya MEA Perbankan ini, di Indonesia cukup ada 4 bank BUMN ini. BPR harus sadar untuk tidak berekspansi lagi. Karena ke depan persaingan akan semakin ketat. “Suka enggak suka, kita cukup punya tidak lebih dari 10 bank di Indonesia,” imbuhnya.

Baca juga:  19 Ribu Lebih Warga Buleleng Terancam Tidak Bisa “Nyoblos” Pemilu 2019

Bank BUKU IV sudah memiliki IT yang kuat. Yang ia khawatirkan adalah bank BUKU I, BPR. Apalagi BPR dengan tata kelola komisaris dan direktur itu dipegang oleh pemilik dan keluarga pemilik. “OJK mesti awasi, komisaris dari BPR itu kan masih dari keluarganya yang tidak capable, membaca neraca saja engga bisa. Apalagi membaca laporan keuangan, itu tidak dimiliki. Oleh sebab itu komisaris BPR diwajibkan mengikuti pelatihan membaca laporan keuangan, dll,” ujarnya

Kondidi BPR itu menyebabkan BPR tidak GCG (good corporate governance). Mestinya bank yang bagus adalah memiliki komisaris yang mengawasi direksi dan paham dengan keuangan perbankan. “Cuma dia takut engga berani bayar, biar engga ilang uangnya kemana-mana,” ujarnya.

Baca juga:  Separuh Kredit di BPR Terdampak Pandemi

Dengan tidak GCG-nya BPR, maka berisiko terhadap uang nasabah. “Ini yang saya khawatirkan, tapi masyarakat kita masih banyak yang cari bunga tinggi karena di BPR bunganya 2 digit, bisa dapat 11 persen,” ungkapnya.

Di era MEA Perbankan dari sisi bunga simpanan bank juga akan mendekati nol. Kondisi ini dinilai akan bagus karena dengan demikian suku bunga kredit juga akan turun. “Semakin dekat nol kan semakin bagus bagi ekonomi. Karena uang diharapkan berputar, dipakai untuk usaha, diharapkan tidak menyimpan uang di bank. Seperti Inggris, bahkan tidak dapat bunga, ditambah uangnya dipotong oleh pajak, biaya administrasi. Kalau dia berani menyimpan di bank, uangnya akan berkurang,” bebernya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *