kendaraan
Sejumlah kendaraan berjalan pelan di kawasan Jalan Pantai Kuta. (BP/Dok)
MANGUPURA, BALIPOST.com – Perkembangan transportasi memiliki peran penting untuk menunjang kemajuan perekonomian di suatu wilayah. Namun, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur perlu memperhatikan dampak negatif dari transportasi. Khususnya transportasi jalan raya terhadap kualitas lingkungan.

“Sehingga pengembangan infrastruktur transportasi kedepannya tidak justru kian menurunkan kualitas lingkungan,” ujar Prof. Putu Alit Suthanaya,ST,MEngSc,Ph.D saat berorasi ilmiah usai dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap Universitas Udayana di Kampus Unud Bukit Jimbaran, Sabtu (18/11).

Secara umum, lanjut Alit, tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia sekitar 8 persen per tahun. Tingkat pertumbuhan yang tinggi ini tanpa diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Imbasnya, hal ini telah menimbulkan kemacetan di berbagai kota di Indonesia. Termasuk di Kota Denpasar yang semula kota kecil lalu berkembang menjadi kota besar dan sekarang telah menjadi kota metropolitan.

Baca juga:  Penyu Banyak Mati, Dua Hal Ini Jadi Penyebab

“Penurunan kecepatan akibat kemacetan ini juga berdampak pada peningkatan konsumsi BBM (bahan bakar minyak, red),” imbuh Guru Besar dalam Bidang Ilmu Transportasi Fakultas Teknik Unud ini.

Alit menambahkan, dampak lainnya adalah konsentrasi polusi udara telah melewati ambang batas pada saat jam puncak di ruas-ruas jalan utama dalam kota yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Beberapa polusi udara berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan ekosistem. Belum lagi bicara dampak kebisingan dan potensi kecelakaan. Ironisnya, sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang indikator yang tepat untuk transportasi berkelanjutan. Terutama di tingkat lokal (metropolitan dan sub-metropolitan, red).

Baca juga:  Jaga Kelestarian Lingkungan, Konsumen Diajak Kurangi Plastik Sekali Pakai

“Indikator lingkungan digunakan untuk mengevaluasi kinerja transportasi di tingkat lokal perlu mempertimbangkan apakah indikator yang dipilih telah sesuai sebagai indikator, baik di tingkat lokal dan global,” jelasnya.

Alit mencontohkan indikator tingkat kebisingan merupakan indikator untuk tingkat lokal. Tetapi bukan merupakan indikator di tingkat global. Oleh karena itu, perlu untuk mengkaitkan antara indikator dengan tujuan dan target transportasi keberlanjutan. Jadi, hirarki indikator harus dipahami terlebih dahulu sebelum memilih indikator yang tepat.

Baca juga:  Soal Kasus Gratifikasi Dewa Puspaka, Kejati Sebut Sudah Periksa Pemberi

“Pola perjalanan dapat digunakan sebagai indikator lingkungan untuk transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Misalnya peningkatan jarak tempuh dan peningkatan perjalanan dengan kendaraan pribadi terkait dengan konsumsi energi yang lebih tinggi dan peningkatan emisi transportasi,” paparnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *