Doi Suthep dikunjungi banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Chiang Mai, Thailand. (BP/iah)
CHIANG MAI, BALIPOST.com – Chiang Mai merupakan kota kedua terbesar setelah Bangkok di Thailand. Meski memiliki banyak destinasi wisata yang menarik, kota ini tak sepopuler Bangkok, Phuket, dan Pattaya.

Penulis berkesempatan mengunjungi Chiang Mai karena ikut rombongan Tur Edukasi Agen Perjalanan Thai Airways yang digelar Jumat (6/10) hingga Selasa (10/10). Salah satu destinasi yang dikunjungi adalah Wat Phra That Doi Suthep atau yang biasa disebut Doi Suthep pada Sabtu (7/10).

Karena letaknya di atas gunung, jalan menuju Doi Suthep ini sedikit banyak mirip jalan-jalan di Bedugul. Berbelok-belok dan tanjakan tajam harus dilalui sepanjang jalan.

Pada saat ke Doi Suthep, ada sejumlah peraturan yang ditaati karena sebenarnya Doi Suthep ini merupakan tempat yang sangat disakralkan oleh umat Buddha.

Pakaian yang dikenakan pun tidak boleh sembarangan. Harus berpakaian rapi. Jika menggunakan celana pendek, pengunjung bisa menyewa kain untuk menutupi celana pendek itu. Tak jauh beda dengan wisatawan yang berkunjung ke pura di Bali. Harus menggunakan kamen jika pakaiannya dianggap tak sopan.

Setelah membeli tiket, pengunjung bisa naik ke lift yang menuju puncak Gunung Doi Suthep atau naik tangga berjumlah sekitar 309 anak tangga. Ketika berkunjung, kebetulan cuaca sedang tak bersahabat. Gerimis menyapa saat rombongan menginjakkan kaki di gerbang kompleks Doi Suthep itu. Akhirnya diputuskan menggunakan lift menuju puncak.

Baca juga:  Pengurus HKTI Bali akan Perjuangkan Petani dari Hulu ke Hilir

Begitu sampai di atas, pengunjung bisa melihat suasana Chiang Mai dari atas. Pemandangannya sangat indah karena bisa melihat keseluruhan kota tersebut. Bahkan hilir mudiknya pesawat saat akan mendarat di Bandara Chiang Mai juga bisa dilihat.

Pemandangan Kota Chiang Mai bisa dinikmati dari Doi Suthep. (BP/iah)

Kebetulan saat sampai di atas, hujan sudah tak turun. Alhasil berkeliling kawasan Doi Suthep yang ada di areal terbuka ini pun bisa dilakukan lebih santai, tanpa takut kehujanan. Sebelum memasuki areal tempat persembahyangan, pengunjung diharuskan melepas alas kaki.

Sejarah ditemukannya kuil Buddha ini masih misteri, ada banyak versi berbeda. Dari pemandu yang mengantarkan peserta tur edukasi agen perjalanan Thai Airways dikatakan bahwa kuil ini ditemukan tahun 1383. Berabad-abad setelahnya, kuil ini bertambah luas hingga megah seperti saat ini.

Menurut sebuah legenda, seorang pendeta Buddha, Sumanathera dari Sukhothai Kingdom bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diminta pergi ke Pang Cha dan mencari sebuah relik. Sumanathera kemudian pergi ke Pang Cha dan menemukan sebuah tulang.

Banyak yang menganggap bahwa tulang tersebut merupakan tulang pundak Siddharta Gautama atau Gautama Buddha. Tulang yang ditemukan itu memiliki kemampuan magis, bisa bercahaya, bisa menghilang, dan mereplikasi dirinya.

Baca juga:  Kemajuan Pengembangan Vaksin COVID-19 Beri Harapan Baru

Sumanathera kemudian membawa relik itu kepada Raja Dhammaraja yang saat itu memerintah Sukhothai. Dhammaraja menyajikan persembahan dan membuat sebuah ritual saat Sumanathera tiba. Namun, relik tersebut memperlihat karakteristik yang abnormal sehingga raja meragukan keasliannya dan menyuruh Sumanathera menyimpannya.

Raja Nu Naone dari Lan Na mendengar adanya relik itu dan meminta Sumanathera membawa relik tersebut kepadanya. Dengan izin dari Dharmmaraja, pada 1368, relik itu dibawa ke sebelah utara Thailand, sekarang dikenal dengan nama Lamphun.

Saat tiba di sana, relik itu terpecah menjadi dua. Satu potongan kecil ditanam di sebuah kuil di Suandok. Sisanya ditempatkan oleh raja di punggung gajah putih yang dilepaskan di hutan. Gajah putih itu lah yang dikatakan naik ke Gunung Doi Suthep –pada saat itu bernama Doi Aoy Chang (Gunung Gula Gajah). Di atas gunung, gajah tersebut meniup trompet  sebanyak 3 kali dan kemudian mati. Ini diintepretasikan sebagai sebuah pertanda sehingga Raja Nu memerintahkan dibangunnya sebuah kuil di lokasi itu.

Banyak wisatawan maupun umat Buddha yang datang ke Doi Suthep. Baik untuk berfoto maupun bersembahyang, memohon keselamatan, menanyakan peruntungan, maupun menghaturkan persembahan.

Saat peserta tur edukasi Thai Airways berkunjung, terdapat banyak wisatawan dari Cina yang juga berkunjung. Mereka nampak khusyuk melakukan doa dan memanjatkan permintaan di kuil yang bernuasa keemasan itu.

Baca juga:  Pemprov Bali Keluarkan SE Biaya Rapid Test Mandiri Maksimal 150 Ribu
Para pengunjung berdoa dengan berkeliling sebanyak tiga kali di Doi Suthep. (BP/iah)

Diah Vebiana salah satu peserta tur edukasi Thai Airways dari Palmmas Holidays Tours and Travel mengaku terkesan dengan kemegahan dari kuil ini. Meski beragama Hindu, ia juga menyempatkan diri untuk berkeliling sebanyak tiga kali mengitari sebuah tempat pemujaan yang dipercaya tempat ditanamnya tulang Gautama Buddha.

Sambil berkeliling tiga kali, umumnya umat Buddha juga membawa sebuah bunga dan membaca doa. Setelah itu, umat bisa memanjatkan permohonan mereka pada Sang Buddha.

Jika masih punya waktu, bisa juga mencari tahu nasib. Sama halnya seperti kebanyakan kuil lainnya, sebelum mencari tahu tentang nasib kita lewat sebuah papan nasib, kita terlebih dulu harus berdoa sambil “Tjiam Si” yaitu mengocok sumpit bambu yang telah diberi nomor.

Karena cuaca cukup cerah, banyak yang memutuskan untuk berjalan menuruni tangga saat keluar dari Doi Suthep. Sambil menapaki anak tangga, pengunjung bisa melihat-lihat pemandangan dan mengabadikan momen dari tangga yang pinggirannya dihiasi patung naga yang mengular hingga ke bawah itu.

Anak-anak berpakaian khas Suku Hmong sedang duduk menanti wisatawan untuk diajak foto bersama. (BP/iah)

Jangan kaget jika didatangi anak-anak kecil yang lucu berpakaian adat Suku Hmong (suku yang tinggal di dekat Doi Suthep). Mereka bisa diajak foto bersama asalkan diberi uang tip. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *