
JAKARTA, BALIPOST.com – Polri menjatuhkan 689 sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan terhadap personel kepolisian yang melanggar sepanjang tahun 2025. Hal ini diungkapkan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol. Wahyu Widada, Selasa (30/12).
“1.196 sanksi demosi, 689 sanksi PTDH, 637 sanksi tunda pangkat dan tunda pendidikan,” katanya dalam kegiatan Rilis Akhir Tahun 2025 di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta, dikutip dari Kantor Berita Antara.
Wahyu merincikan sanksi tersebut termasuk dalam yang diputuskan dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP).
Selain tiga sanksi tersebut, Polri juga menjatuhkan 2.707 sanksi etik berupa pernyataan perbuatan tercela, 1.951 sanksi permintaan maaf secara lisan maupun tertulis, 1.709 sanksi penempatan khusus (patsus) selama 30 hari, dan 44 sanksi lainnya.
Wahyu juga mengungkapkan bahwa pelanggaran etik oleh personel kepolisian yang terbanyak dilaporkan pada tahun ini terkait dengan perilaku kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat dengan total sebanyak 1.730 kasus.
“Disusul norma hukum, penanganan perkara pidana, dan pelayanan kepolisian,” ujarnya.
Hal tersebut berbeda dengan pada tahun 2024 yang mana pelanggaran terbanyak terkait dengan tugas kedinasan kepolisian, yaitu sebanyak 1.324 kasus.
“Sebagai bagian komitmen dalam menjaga profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas organisasi, Polri secara konsisten melakukan penegakan disiplin dan kode etik terhadap setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh personel,” katanya.
Dalam rangka menjamin kinerja Polri lebih baik, Wahyu mengatakan bahwa Polri mengedepankan pendekatan preventif dan humanis dalam pengawasan internal.
Selain itu, kata dia, melalui penguatan kegiatan mitigasi dan simpatik sebagai respons atas dinamika pelanggaran, meningkatnya ekspektasi publik, serta kebutuhan untuk menghadirkan institusi Polri yang tidak hanya menindak, tetapi juga mencegah, membina, dan membangun kedekatan anggota maupun masyarakat.
“Kegiatan mitigasi difokuskan pada penegakan disiplin, pembersihan praktik menyimpang, serta penguatan sinergi lintas institusi,” ujarnya.
Sementara itu, kegiatan simpatik diarahkan pada bantuan sosial, edukasi, pendekatan langsung kepada masyarakat, serta dialog terbuka dengan publik.
“Kegiatan ini merupakan bagian dari transformasi fungsi pengawasan Polri menuju model pengawasan yang lebih proaktif, partisipatif, dan berorientasi pada pencegahan serta kepercayaan publik,” ucapnya. (kmb/balipost)










