Tim BPBD Kota Denpasar mengevakuasi wisatawan yang menginap di villa-villa sekitar Jalan Gunung Atena II, Denpasar, Minggu (14/12). Hujan berkepanjangan yang mengguyur membuat beberapa titik di wilayah Kota Denpasar terendam air. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Banjir yang kerap terjadi belakangan ini tidak saja disebabkan karena curah hujan yang tinggi. Kurang berfungsinya drainase menjadi salah satu penyebab banjir di Bali. Hal ini diungkap oleh Kepala Dinas PUPR Provinsi Bali, Nusakti Yasa Wedha, Kamis (18/12).

Dikatakan, fungsi drainase jalan direncanakan menampung run off/air permukaan jalan dan selanjutnya mengalirkan air ke sungai terdekat. Namun, tingginya volume air yang harus ditampung dari catchment area yang luas drainase tidak bisa berfungsi maksimal.

Hal ini juga dipengaruhi akibat perubahan tata guna lahan. Sehingga, memberi dampak pada ketidakmampuan drainase jalan dalam menampung air sesuai kapasitas yang telah direncanakan.

Bahkan, diungkapkan dibeberapa lokasi terjadi luapan air dari saluran irigasi ke sistem drainase jalan karena debit air pada saluran irigasi melebihi kapasitas. Juga terdapat beberapa kondisi adanya penggabungan fungsi antara saluran irigasi dan saluran drainase.

“Pada prinsipnya saluran irigasi adalah menaikkan muka air untuk mengairi persawahan, sementara drainase bertujuan menurunkan muka air untuk mencegah genangan. Semestinya saluran irigasi dan saluran drainase tidak boleh digabungkan. Demikian juga manajemen penanganan sampah yang masuk ke dalam saluran kurang baik,” terangnya.

Baca juga:  Ribuan Umat Iringi Prosesi "Malasti" Serangkaian Pujawali di Pura Penataran Ped

Oleh karena itu, Nusakti mengatakan sudah sangat diperlukan pembangunan sistem drainase permukiman/perkotaan tersendiri yang terpisah antara drainase jalan dan saluran irigasi. “Saat ini kami terus mengupayakan perbaikan drainase yang rusak dan pembersihan sedimen secara rutin,” katanya.

Sementara itu, Pengamat Isu Perkotaan sekaligus Akademisi Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa (Unwar), I Nyoman Gede Maha Putra mengingatkan bahwa berdasarkan data BMKG cuaca akhir tahun di Bali akan ekstrem. Sehingga, persiapan-persiapan harus dilakukan untuk menghadapi kondisi terburuk yang mungkin timbul akibat cuaca ini. Kondisi cuaca umumnya berupa siklus.

Misalnya, musim hujan umumnya terjadi menjelang akhir hingga awal tahun sekitar bulan Oktober sampai Maret. Ini berulang setiap tahun, hanya saja kondisinya ada yang membawa hujan ekstrem dan ada yang tidak. Tetapi, setidaknya siklus ini bisa dibaca.

Dikatakan, para petani jaman dahulu memiliki sistem yang baik untuk membaca siklus ini sehingga mereka bisa menentukan musim tanam dan panen yang memadai dengan kondisi iklim. Pengetahuan membaca iklim ini semestinya membaik dengan semakin berkembangnya teknologi.

Baca juga:  Layanan Starlink akan Diresmikan Jokowi dan Elon Musk di Bali

Tetapi, akibat dorongan untuk mengakomodir pembangunan yang didorong oleh investasi, hal-hal terkait pembacaan iklim jarang dipakai sebagai pertimbangan dalam melaksnakan kegiatan pembangunan. Misalnya saja, perbaikan serta pemeliharaan drainase justru dilakukan menjelang dan bahkan saat musim hujan.

Ini menjadi masalah karena saat hujan sudah datang, sistem drainase belum siap. “Kita tentu bisa memahami bahwa sistem penganggaran mengikuti pola sistem pertanggungjawaban tahunan, tetapi hal ini perlu kita sesuaikan lagi agar masalah tidak terulang. Ini terkait dengan timing atau dimensi waktu,” ujarnya, Kamis (18/12).

Dari sisi keruangan, Gede Maha Putra mengatakan pembangunan di wilayah Bali terlihat belum terkoordinasi dengan baik. Dalam hal banjir, pertimbangan-pertimbangan hujan dan luapan air jarang dimasukkan dalam proses perizinan.

Kalau pun masuk, lebih banyak sebagai formalitas. Saat terjadi alih fungsi misalnya. Pemikiran tentang ke mana air yang sebelumnya ada di lahan tersebut akan dibawa setelah ia menjadi bangunan tidak menjadi pertimbangan.

Akibatnya, semua air dibuang ke saluran. Saluran sendiri, karena harga lahan semakin mahal, berukuran semakin kecil. Dengan tanggungan air yang harus ditampung semakin banyak, maka terjadilah luapan. Hal ini tentu saja diperparah oleh kondisi ekstrem cuaca yang terjadi.

Baca juga:  Antisipasi Gelombang Pasang, TNI dan Aparat Desa Kalibukbuk Buat Tanggul

Mengenai saluran irigasi yang bergabung dengan saluran drainase, menurutnya hal ini sepertinya tidak terhindarkan karena sawah-sawah banyak yang beralih fungsi. Irigasi yang tadintya mengairi sawah sekarang dialihkan ke saluran drainase karena sawahnya sudah hilang. Pengalihan ini bisa saja tidak direncanakan dengan baik, tetapi airnya dialirkan saja ke saluran irigasi yang sudah ada.

Ia mengatakan dengan semakin kecilnya ruang untuk resapan, diperlukan pemikiran ulang perencanaan tata ruang menjadi lebih sensitif terhadap air hujan. Jika selama ini tata ruang lebih berfokus pada pengaturan investasi, maka sekarang unsur serta pertimbangan pencegahan bencana terutama banjir harus mulai dimasukkan.

“Proyek-proyek yang berfokus pada mitigasi bencana banjir sudah lama tidak kita lakukan. Saya pikir, sekarang harus ada proyek besar semacam itu. Proyek-proyek seperti penyediaan danau buatan, kanal air saat terjadi banjir, dan usaha untuk membuat taman-taman kota menjadi lebih porous sehingga mampu menahan lebih banyak air sudah perlu untuk dipikirkan,” ujarnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN