
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali saat ini hanya memiliki luasan hutan seluas 131.171 hektare.
Jumlah ini baru 23,45 persen dari total luasan wilayah Bali. Padahal, dalam aturan wilayah provinsi minimal harus memiliki 30 persen luasan hutan dari total luasan wilayah.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali terus berupaya meningkatkan tutupan hutan.
Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Timur, Made Maha Widyartha mengatakan hutan merupakan salah satu elemen yang mampu menyerap air.
Disebutkan, hutan di kawasan KPH Bali Timur seluas 20.900 hektare dengan kondisi yang bervariasi. Sedangkan hutan di Bali seluas 131.171 ha. “Dengan sekitar 200 tenaga yang kami miliki, kami terus melakukan penghijauan. Sejak tahun 2019, sudah sekitar 3.000 hingga 4.000 hektare yang kami tanami kembali,” ujarnya, Sabtu (11/10).
Menurutnya, dari total 131.171 ha, ribu hektare hutan di seluruh Bali, pihaknya berkomitmen kuat menjaga kelestarian kawasan tersebut. “Sesuai arahan Bapak Gubernur yang memiliki visi luar biasa, luas kawasan hutan Bali saat ini 23,45 persen dari total wilayah. Pak Gubernur menargetkan peningkatan tutupan hutan hingga 30 persen. Kami berpacu untuk mewujudkannya dengan mendorong masyarakat agar menanam pohon di lahan mereka,” terangnya.
Ia juga mengapresiasi keterlibatan publik, termasuk konten kreator, dalam kampanye penanaman pohon. “Kalau satu orang saja menanam satu pohon di Bali, berarti akan ada empat juta pohon baru sesuai jumlah penduduk kita. Bayangkan jika itu dilakukan setiap tahun. Menanam itu penting, karena satu pohon dewasa dapat menyediakan oksigen bagi 4 orang. Jika kita menebang 1 pohon, artinya kita menghilangkan hak oksigen bagi 4 orang,” tegasnya.
Made Maha Widyartha mengungkapkan curah hujan tinggi sebagai bagian dari perubahan iklim menjadi salah satu penyebab banjir yang terjadi belum lama ini. Namun demikian, hutan juga memiliki peran penting dalam menahan dampaknya.
Sementara itu, praktisi kehutanan, Abdul Muthalib menegaskan, pentingnya pengelolaan hutan berbasis keberlanjutan di tengah ancaman konversi lahan dan eksploitasi berlebihan. “Harus hati-hati, karena kawasan hutan Bali sangat rentan. Penanaman pohon harus menjadi budaya, bukan sekadar seremonial,” katanya.
Ia juga menyoroti peran kunci hutan sebagai penyerap karbon dan pelindung ekosistem. Menurutnya, hutan berfungsi sebagai benteng utama, tidak hanya dalam konteks mitigasi (mengurangi penyebab), tetapi juga adaptasi (menyesuaikan diri dengan dampak) perubahan iklim.
Dalam konteks mitigasi sebagai gudang penyimpanan karbon, hutan memiliki kemampuan menyerap karbondioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis. “Hutan yang sehat mampu mengunci jutaan ton karbon dan membantu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di udara yang menjadi pemicu utama pemanasan global,” ungkapnya.
Terkait upaya mengatasi deforestasi, ia menegaskan perlunya fokus pada penghentian perubahan fungsi kawasan hutan yang disebabkan oleh kebakaran, illegal logging, atau alih fungsi lahan ilegal. “Kita harus mendukung program Pemerintah Provinsi Bali melalui Bapak Gubernur dalam pengembangan energi baru terbarukan dan kampanye penggunaan kendaraan listrik,” tandasnya.
Selain berperan dalam mitigasi, hutan juga menjadi sistem perlindungan alami terhadap dampak nyata perubahan iklim, terutama cuaca ekstrem. Dikatakan, dari sisi tata air, hutan berfungsi sebagai regulator penting yang menjaga daerah resapan dan mengatur aliran air. Hutan yang lestari dapat mencegah banjir saat musim hujan ekstrem serta memastikan ketersediaan air bersih saat musim kemarau panjang. “Akar pohon yang kuat juga mencegah tanah longsor dan erosi yang kini semakin sering terjadi akibat curah hujan yang tidak menentu,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)