Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, memiliki tradisi unik dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dikenal dengan Mauludan Base dan Mauludan Taluh. (BP/yud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, memiliki tradisi unik dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dikenal dengan Mauludan Base dan Mauludan Taluh, yang menjadi warisan turun-temurun sekaligus wujud akulturasi budaya Bali dan Islam.

Pemerhati sejarah dari Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto, menjelaskan bahwa Mauludan Base lebih banyak dimaknai sebagai doa keselamatan desa. Bentuk persembahan yang ditampilkan pun berupa karya seni, salah satunya sokok base.

“Sokok base ini merupakan bentuk nilai akulturasi dari gebogan yang ada di Bali. Kalau di Bali dipakai untuk upacara adat, di Pegayaman diadaptasi untuk memperingati Maulid Nabi. Jadi nilainya bukan sekadar simbol, tetapi menyatu dengan budaya lokal,” ungkap Suharto.

Baca juga:  Operasi Keselamatan Agung, Polres Buleleng Bagikan Masker dan Hand Sanitizer

Struktur sokok base memiliki makna filosofis. Pada bagian paling atas terdapat bunga yang disebut geteng, disusul dengan taluh (telur), kemudian utayan bunga.

Utayan bunga ini terdiri atas berbagai jenis bunga yang diyakini memiliki khasiat herbal. Sementara pada bagian bawah terdapat daun base atau sirih, lalu dilengkapi dengan dulang sebagai wadah penopang.

“Semua susunan itu adalah simbol kebersamaan, keceriaan, dan penghormatan dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Konsepnya sederhana, yaitu di mana kaki berpijak, di situ langit dijunjung. Artinya, masyarakat Pegayaman tetap menjunjung tinggi budaya Bali, namun memaknainya sesuai ajaran Islam,” jelasnya.

Tradisi Mauludan di Pegayaman tidak hanya menjadi sarana memperingati hari besar Islam, tetapi juga memperlihatkan harmonisasi budaya. Suharto menambahkan, akulturasi ini menjadi jembatan yang mempererat identitas masyarakat Pegayaman sebagai komunitas Muslim yang tumbuh di tengah budaya Bali.

Baca juga:  Bali Gak Cuma Kuta dan Ubud, Berikut 5 Rekomendasi Tempat Wisata di Kawasan Utara

“Inilah yang membuat tradisi Mauludan di Pegayaman berbeda dengan daerah lain. Ada nilai akulturasi, ada kebersamaan, dan ada penghormatan pada leluhur maupun ajaran agama,” pungkas Suharto.

Seperti diketahui, peringatan Maulid Nabi SAW dilaksanakan secara meriah di desa yang kental dengan nuansa akulturasinya tersebut. Hampir dalam satu bulan Rabiul Awal, warga Desa Pegayaman penuh kegembiraan merayakan Maulid Nabi SAW.

Di tingkat desa, dimulai dengan acara wiridan di Masjid Jami’ Safinatussalam Pegayaman hari-hari di awal bulan pada 1-7 Rabiul Awal 1447 H (25 Agustus sampai 1 September 2025). Setelah itu acara Muludan Akutus yakni pada 8 Rabiul Awal.

Baca juga:  Membludak, Kunjungan Wisata ke Buleleng Saat Libur Idul Fitri

Setelah itu digelar Ratibul Hadad dan Hijiban 9-10 Rabiul Awal (3-4 September), Nampah Sampi dan Magenan 11 Rabiul Awal (5 September), Tabligh Akbar oleh TGB KH Dr. Muhammad Zainul Majdi 12 Rabiul Awal (5 September), Gelar Seni Burdah 12 Rabiul Awal (5-6 September), Muludan Base 12 Rabiul Awal (6 September), Muludan Sokok (acara puncak) 13 Rabiul Awal (7 September), dan Manis Muludan 14-16 Rabiul Awal (8-9 September).

Setelah perayaan maulid Nabi SAW di tingkat desa, kemudian berlanjut ke tingkat dusun atau banjar. Itu berlangsung hingga bulan Rabiul Awal, yakni bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, berakhir. (Nyoman Yudha/balipost)

BAGIKAN