
DENPASAR, BALIPOST.com – Aksi yang pecah pada 25 Agustus 2025 di berbagai daerah salah satunya dikarenakan penolakan atas sejumlah pasal dalam RUU KUHAP, yang dianggap bermasalah dan mengancam prinsip keadilan dan hak asasi.
Massa aksi menilai revisi RUU KUHAP memberikan kewenangan jaksa yang berlebihan hingga adanya larangan publikasi persidangan, sehingga berpotensi menjadi alat represi baru dalam reformasi hukum.
Data yang dihimpun, Selasa (26/8), suara lantang penolakan berasal dari koalisi masyarakat sipil, mahasiswa hingga Lembaga bantuan hukum, yang menilai RUU KUHAP sebagai “kode represi baru”.
RUU KUHAP itu tidak memperbaiki sistem peradilan, melainkan pasal-pasal yang ada didalamnya justru bermasalah, memberikan ruang lebih besar bagi aparat untuk bertindak sewenang-wenang.
Terkait pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang diprotes publik, di antaranya:
1. Pasal 111 Ayat (2)
Pasal ini mengatur terkait pemberian kewenangan kepada jaksa untuk mempertanyakan legalitas penahanan oleh polisi. Langkah ini dipandang tumpang tindih dengan kewenangan hakim dan berpotensi melemahkan prinsip pemisahan kekuasaan.
2. Pasal 12 Ayat (11)
Dalam pasal ini memberikan kemungkinan masyarakat melapor langsung ke kejaksaan jika polisi tidak menindaklanjuti laporan dalam 14 hari. Mekanisme ini dikritik karena membuka peran ganda bagi jaksa, rawan penyalahgunaan, dan menyalahi sistem yang berlaku.
3. Larangan Siaran Langsung Sidang
Dalam draf RUU KUHAP terdapat ketentuan yang melarang media masa menyiarkan langsung jalannya persidangan (live streaming atau live broadcast). Sidang hanya boleh diberitakan secara tertulis atau rekaman setelah mendapat izin pengadilan.
Pasal ini dianggap melemahkan transparansi peradilan, membatasi akses publik, dan mengurangi akuntabilitas hakim.
4. Minim Perlindungan Korban dan Salah Tangkap
Sejumlah pasal dalam RUU KUHAP dinilai belum maksimal memberi perlindungan hukum terhadap korban kriminalitas maupun orang yang mengalami salah tangkap.
Sinyal protes ini sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2012, mulai dari perbedaan pandangan sesama anggota DPR sendiri. Kemudian tahun 2025 muncul kritikan dari pakar hukum dan organisasi masyarakat sipil dalam rapat resmi di Komisi II DPR.
Kendati demikian, justru malah muncul sinyal dari DPR akan segera mengesahkan RUU KUHAP pada masa sidang I 2025-2026, sehingga memicu gelombang protes dan puncaknya 25 Agustus 2025, ribuan masa turun ke jalan di Jakarta, Yogyakarta Surabaya dan sejumlah kota lainnya, yang menuntut pembatalan pasal-pasal kontroversial dan menunda pengesahan. (Agung Dharmada/balipost)