Seniman Bali bermain gamelan selonding. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Desa Tenganan Pegringsingan di Karangasem dikenal sebagai salah satu desa Bali Aga yang masih kuat memegang tradisi leluhur.

Salah satu warisan paling sakral dari desa ini adalah gamelan Selonding, alat musik kuno yang dipercaya sebagai titisan wahyu dan berusia hampir 900 tahun.

Berikut beberapa hal menarik tentang Gamelan Selonding:

1. Hanya Ada di Desa-Desa Bali Aga

Gamelan Selonding tidak ditemukan di semua desa di Bali. Alat musik ini khas desa-desa Bali Aga seperti Tenganan, Trunyan, dan beberapa desa tua di Bangli dan Buleleng. Keberadaannya sangat terbatas dan dijaga ketat oleh masyarakat adat.

Baca juga:  Belasan Ribu Kasus Aktif Dicatatkan Bali, Dirawat di RS Kurang dari 10 Persen

2. Warisan dari Langit?

Warga Tenganan meyakini gamelan ini berasal dari wahyu Ratu Selonding, setelah terdengar suara bergemuruh dari langit. Karena itulah, gamelan ini dianggap suci dan tidak boleh dimainkan sembarangan.

3. Digunakan Hanya untuk Upacara Sakral

Selonding hanya dimainkan saat upacara besar seperti Usaba Sumbu, Usaba Dangsil, dan upacara adat penting lainnya. Gamelan ini tidak digunakan untuk pertunjukan hiburan atau kegiatan profan.

Baca juga:  Anggota Ormas Main Pukul Pakai Airsoft Gun

4. Tidak Boleh Menyentuh Tanah

Sebagai benda sakral, bilah-bilah gamelan Selonding tidak boleh langsung menyentuh tanah. Setiap kali dimainkan atau disimpan, selalu ada alas khusus yang digunakan. Larangannya ketat, karena dipercaya bisa membawa malapetaka bila dilanggar.

5. Usianya Lebih dari 900 Tahun

Selonding diyakini sudah ada sejak masa pemerintahan Raja Jaya Sakti pada abad ke-11. Usianya menjadikannya salah satu gamelan tertua di Bali yang masih lestari hingga kini.

Baca juga:  Kantor Perbekel Tenganan Pegringsingan Terbakar

6. Nada yang Tidak Biasa

Berbeda dengan gamelan biasa, Selonding menggunakan laras pelog tujuh nada. Suaranya terdengar lebih klasik dan memiliki nuansa magis yang khas. Tidak semua orang bisa memainkannya, karena butuh pemahaman khusus terhadap “soul”-nya. (Pande Paron/balipost)

BAGIKAN