Tedung Robrob. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah gelaran upacara adat Bali yang sarat makna, keberadaan tedung atau payung upacara menjadi simbol penting perlindungan sakral.

Namun, di Tampaksiring, Gianyar, terdapat varian unik bernama tedung robrob yang bukan hanya menarik secara visual, tapi juga menyimpan filosofi mendalam.

Inilah lima hal menarik tentang tedung robrob yang perlu diketahui:

1. “Robrob” Benang Warna-warni, Ciri Khas yang Ikonik

Disebut robrob karena bagian pinggir payung dihiasi benang wol yang menjuntai. Warna-warna seperti merah, putih, hitam, kuning, dan hijau tak hanya mempercantik tampilan, tapi juga mewakili unsur spiritual dalam ajaran Hindu Bali. Rumbai ini sekaligus menjadi identitas utama tedung robrob dibanding tedung biasa.

Baca juga:  Dalami Kasus Bakar Diri di Pantai Siyut, Polisi Masih Tunggu Ini

2. Atapnya Menyerupai Sayap Kelelawar

Beberapa tedung robrob memiliki bentuk atap unik yang menyerupai “ngampid lawah” atau sayap kelelawar. Model seperti ini dapat dijumpai di Pura Pasekan, Payangan. Bentuknya tidak terlalu melengkung atau terlalu datar, seolah menggambarkan keseimbangan antara langit dan bumi, antara niskala dan sekala.

3. Warna dan Rangka Bukan Sekadar Dekorasi

Warna tedung robrob sering disesuaikan dengan golongan atau kasta. Putih untuk Brahmana, hitam untuk Satria, kuning untuk Waisya, dan merah untuk Sudra. Bahkan jumlah iga atau rangka payung pun mengandung makna tersendiri—umumnya genap, seperti 24 atau 32, melambangkan keseimbangan dan harmoni alam semesta.

Baca juga:  Bawa Sajam, Pelajar dan Anggota Ormas Diamankan

4. Tak Diketahui Siapa Penciptanya

Berbeda dengan produk modern, tedung robrob adalah hasil warisan budaya kolektif. Tidak ada satu nama yang dicatat sebagai penemu. Keberadaannya tumbuh dalam konteks kehidupan spiritual masyarakat Bali, diwariskan turun-temurun sebagai bagian dari tradisi adat dan upacara.

5. Antara Pelindung Sakral dan Karya Seni Rakyat

Hingga kini, tedung robrob masih digunakan dalam prosesi adat di banyak pura di Gianyar dan sekitarnya. Perajin lokal tetap melestarikan teknik pembuatan tradisional, sembari memberikan sentuhan baru agar tetap relevan di tengah zaman. Bukan hanya payung, tapi cerminan seni, spiritualitas, dan identitas. (Pande Paron/balipost)

Baca juga:  Warga Ubud dan Tampaksiring Wajib Terapkan Adaptasi Kebiasaan Baru
BAGIKAN