Workshop pengelolaan limbah tekstil digelar di Gedung Dharma Negara Alaya, Denpasar pada Kamis (17/4) sebagai rangkaian HUT ke-16 Komunitas Malu Dong. (BP/Wahyu Widya)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan semakin digugah melalui kegiatan Workshop Pengelolaan Sampah yang diselenggarakan di Gedung Dharma Negara Alaya, Kamis (17/4).

Kegiatan ini tak hanya menampilkan praktik pengelolaan sampah yang beragam, namun juga membuka ruang diskusi dan eksplorasi kreatif terhadap sampah organik hingga tekstil bekas.

Ketua panitia workshop, Guntur Syah Alam menjelaskan bahwa konsep acara ini dibuat terbuka dan interaktif. “Jadi pengunjung bisa langsung mendatangi stand-stand yang diminati. Di sini ada komunitas dan juga perusahaan yang masing-masing punya fokus pengelolaan sampah, seperti organik, residu, dan tekstil,” jelasnya.

Guntur menambahkan bahwa acara ini tidak hanya berbentuk workshop, tapi juga pameran yang mirip dengan expo, yang akan berlangsung hingga sesi utama dimulai pukul 13.00 hingga 15.00 WITA.

Baca juga:  Jelang Dibuka Akhir Tahun Ini, Kebun Raya Jagatnata Perbanyak Koleksi

Tercatat ada 3 hingga 4 stand berpartisipasi, di antaranya pengolahan plastik menjadi kerajinan, pengomposan sampah organik, hingga karya seni dari koran dan plastik bekas. “Beberapa karya bahkan sarat dengan pesan sarkasme, menyindir kita semua soal bagaimana kita memperlakukan sampah,” tambah Guntur.

Salah satu partisipan adalah Urban Compost Biologist, sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengolahan sampah organik.

Perwakilan mereka, I Gede Krisna Wirawan, menjelaskan bahwa sampah organik dari rumah-rumah warga dikumpulkan, dibusukkan, lalu diolah menjadi pupuk yang kemudian dikembalikan ke pemilik sampah.

“Kami ingin mengurangi jumlah sampah yang masuk ke TPA Suwung. Salah satu penyebab kebakaran di sana beberapa tahun lalu adalah gas metana dari pembusukan sampah organik,” terang Krisna.

Ia menyoroti bahwa masyarakat Bali sangat akrab dengan sampah organik dalam kegiatan sehari-hari, terutama dalam konteks upacara. Namun sayangnya, kebiasaan membakar sampah masih kerap dilakukan.

Baca juga:  Di Pantai Pesinggahan, Jukung Nelayan Rusak Diterjang Ombak

“Padahal pembakaran justru menghasilkan polusi. Kami ingin masyarakat mulai mengolah sampah organiknya agar lebih berguna dan tidak merusak lingkungan,” tegasnya.

Sementara itu, dari sektor pengelolaan limbah tekstil, hadir pula Stitch It Up, sebuah brand yang fokus pada produk upcycling dari kain bekas.

Dikelola oleh Kiki Rahmawati dan Julia Amanda, brand ini menyulap pakaian bekas, sprei, dan kain perca menjadi produk baru seperti tas, topi, hingga outerwear.

“Kegelisahan kami melihat tumpukan baju di rumah yang tidak lagi digunakan, terutama seragam dan baju panitia, jadi pemicu awal kami. Daripada dibuang, kenapa tidak dibuat menjadi sesuatu yang bisa dipakai lagi untuk 10-15 tahun ke depan,” ujar Kiki.

Baca juga:  Tak Ingin Ada Pihak Menindas Rakyat Bali, Premanisme Diberantas

Produk-produk Stitch It Up menggunakan 80% bahan bekas dan 20% kain baru demi kenyamanan pengguna, terutama untuk bagian yang bersentuhan langsung dengan kulit.

Julia menambahkan bahwa cara paling mudah mengajak masyarakat ikut peduli adalah dengan mengenalkan upcycling melalui kebiasaan.

“Pakai produk yang kita buat sendiri bisa jadi identitas dan bentuk kampanye kecil untuk menunjukkan bahwa upcycling itu mungkin dilakukan oleh siapa saja,” ungkapnya.

Workshop ini bukan sekadar tempat belajar, namun juga menjadi ruang kontemplasi bagi generasi muda untuk lebih peduli terhadap isu lingkungan. “Kami sadar perubahan tidak terjadi seketika, tapi kalau sudah ternotice di alam bawah sadar, itu sudah langkah besar,” tutup Guntur penuh harap. (Wahyu Widya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *