I Gede Nandya Oktora Panasea. (BP/Istimewa)

Oleh I Gede Nandya Oktora Panasea

Langit Bali mendadak sunyi. Mesin pesawat berhenti meraung, jalanan lengang, televisi padam. Pulau ini masuk ke dalam ruang hening yang nyaris tak masuk akal dalam dunia yang terus bergerak.

Nyepi, satu-satunya hari dalam setahun ketika waktu di Bali seolah berhenti berdetak. Dalam sehari, alam kembali sepi.

Pasca-Nyepi, PLN UID Bali mengklaim bahwa konsumsi listrik anjlok 27 persen dan citra satelit NASA menunjukkan penurunan emisi karbon yang signifikan selama Nyepi. Tidak ada seminar iklim,
tidak ada kampanye, tidak ada rapat Menteri, cukup dengan diam, Bali memberi pelajaran besar: bahwa mungkin selama ini kita terlalu banyak bergerak, terlalu banyak membakar, terlalu banyak bicara.

Tapi seperti dongeng yang terlalu singkat, pagi setelah Nyepi kembali bising. Knalpot kembali meraung. Sampah kembali dibuang. Listrik kembali menyala tanpa henti.

Sunyi yang sempat membuka kesadaran itu kembali dilipat, dikunci, dan dimasukkan kembali ke dalam kotak tradisi, menunggu dibuka tahun depan.

Baca juga:  Menjaga Kesehatan Gigi Saat Pandemi

Padahal, Bali sedang sakit. Pulau kecil ini setiap hari menghasilkan lebih dari 4.000 ton sampah sebagai dampak dari pariwisata massal. Gunungan plastik merayap di pinggir jalan, menyumbat saluran, hanyut ke laut.

Wisatawan datang mencari surga, tapi menemukan surga yang sedang kehabisan napas. Ironisnya, yang merusak keindahan itu bukan bencana alam, melainkan kita sendiri dengan gaya hidup boros dan tanpa kepedulian.

Pemerintah Bali bukannya tinggal diam. Lewat Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2018, penggunaan kantong plastik, styrofoam, dan sedotan sekali pakai dilarang.

Dua tahun kemudian, Pergub Nomor 45 Tahun 2019 diperkenalkan, membuka jalan menuju energi bersih dan ambisi Net Zero Emission pada 2045. Disusul lagi Pergub Nomor 47 Tahun 2019 yang menekankan pengelolaan sampah berbasis sumber: dari rumah, dari dapur, dari pasar.

Baca juga:  Mudik, Tradisi Sosial yang Sangat Sulit Diubah

Bali mulai bergerak. Tapi kebijakan sebaik dan seketat apa pun, akan sia-sia jika tak menyentuh pola pikir warganya. Perubahan tak bisa hanya lahir dari meja rapat dan tanda tangan.

Ia harus tumbuh dari dapur kelarga, dari papan warung kecil, dari percakapan di bale banjar. Masyarakat Bali harus mulai berbenah dengan tindakan: membawa tas belanja sendiri, menolak sedotan
plastik, memilah sampah, menahan diri dari belanja impulsif.

Hal-hal kecil yang bila dilakukan berjuta orang, akan menggemakan efek lebih dahsyat daripada satu hari Nyepi. Sektor pariwisata, yang menjadi jantung nadi Bali, justru harus menjadi ujung tombak perubahan.

Hotel harus mulai berbicara deokngan panel surya, bukan hanya brosur ramah lingkungan. Restoran harus menyajikan makanan lokal musiman, bukan makanan beku dari seberang lautan. Agen wisata harus menjual pengalaman budaya dan pariwisata berkelanjutan,  bukan hanya pesta dan pantai. Ekowisata bukan hanya sekadar label hijau, tapi cara Bali mempertahankan eksistensinya.

Baca juga:  Polisi Gagalkan Dua Pengiriman Mikol

Bali tidak kekurangan nilai. Tri Hita Karana telah hidup jauh sebelum istilah “sustainable” jadi tren dunia. Konsep harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan itu tidak perlu dimodernisasi, Nilai ini hanya
perlu dihidupkan kembali, ditarik dari altar ke ruang tamu kehidupan. Nyepi telah menunjukkan bahwa hidup tanpa kebisingan itu mungkin.

Bahwa bumi tidak akan runtuh jika manusia menahan diri sehari saja. Tapi apakah satu hari cukup? Apakah kita akan terus menjadikan sunyi sebagai pertunjukan tahunan yang difoto, dipuji, lalu dilupakan?
Jika satu juta orang di Bali mengubah satu kebiasaan kecil setiap hari, maka kita tak perlu menunggu Nyepi berikutnya untuk melihat langit yang bersih.

Karena perubahan besar tidak tercipta dari ruang-ruang rapat. Perubahan lahir dari kesadaran dan aksi kita bersama.

Penulis, Dosen dan Koordinator UPIKS FEB Universitas Udayana

BAGIKAN