Para nelayan sedang menarik sampan atau jukung yang digunakan untuk melaut mencari ikan. Belakangan penggunaan jaring krakat (beach seine) kembali dilakukan dan mendapatkan sorotan dari warga. (BP/Olo)

NEGARA, BALIPOST.com – Penggunaan jaring krakat atau pakis di perairan Jembrana kembali menjadi sorotan warga. Jaring jenis beach seine ini sebelumnya sempat dilarang karena dikhawatirkan dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang di pesisir. Di beberapa wilayah pesisir, jaring ini masih digunakan dan menimbulkan persoalan sosial antar nelayan karena tidak biasa digunakan nelayan.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jembrana, I Made Widanayasa, mengatakan, penggunaan jaring krakat memang ada digunakan di beberapa pantai dengan pesisir berpasir. Sebelumnya penggunaan sempat dihentikan karena selain dilarang juga dilakukan pendekatan untuk tidak menggunakan alat tangkap tersebut. Beberapa lokasi pantai yang menggunakan pernah dilakukan pencegahan, bukan dengan menindak. “Namun, tampaknya penggunaan ini kembali terjadi,” kata Widanayasa akhir pekan lalu.

Baca juga:  Penggunaan Kendaraan Listrik Hemat Biaya Operasional Sampai Rp 1,5 Juta

Jaring pakis ini sempat dilarang karena memiliki ukuran mata jaring yang sangat kecil. Sehingga menjerat seluruh jenis ikan yang berada di pesisir, tak mengenal baik besar maupun kecil, termasuk biota laut lain. “Karena kecil menyapu seluruh biota, dan bisa dikhawatirkan merusak terumbu karang. Biasanya penggunaan jaring ini di pesisir pantai yang berpasir, tidak ada karang, karena juga jaring akan rusak,” terangnya.

Metode ini biasanya melibatkan sekitar 10 hingga belasan orang untuk menebar dan menarik jaring dari pantai. Panjang jaring yang digunakan rata-rata mencapai 200 meter, bahkan bisa mencapai satu kilometer saat kondisi ikan sepi. Semakin panjang jaring yang ditebar, semakin lama pula proses penarikan. Hal inilah yang berdampak pada lingkungan.

Baca juga:  Penggunaan DTSE Untuk Bansos Diusahakan Triwulan Kedua

“Di beberapa pantai menerapkan jaring krakat ini, biasanya yang berpasir. Memang bukan alat tangkap yang lazim digunakan para nelayan, sehingga menjadi konflik sosial. Kami dulu sempat turun dan mengecek bersama dinas, ada faktor sosial yang menimbulkan permasalahan,” ujarnya.

Misalnya ada indikasi mendatangkan tenaga penarik jaring dari luar desa yang turut serta dalam praktik ini. “Nelayan kita biasa menggunakan jaring tebar, pancing, atau melaut secara tradisional. Namun, di beberapa pantai seperti Pebuahan, Air Kuning, dan Candikusuma, penggunaan jaring ini memang ada, tapi setelah kita himbau dan cegah bersama dinas, sempat mereda bahkan tidak ada,” ujarnya.

Baca juga:  Di Karangasem, Puluhan SMP Belum Siap Gelar UNBK

Pendekatan dilakukan dengan memberikan solusi alternatif seperti bantuan keramba. Sehingga lebih ditekankan pada budidaya bukan tangkap ikan. Ia mencontohkan seperti di Candikusuma, beberapa nelayan beralih ke pola tangkap pancing atau budidaya kerapu. Upaya ini dilakukan agar nelayan tetap memiliki sumber pendapatan tanpa harus menggunakan alat tangkap tersebut.

Sebelumnya dalam tatap muka Kapolres Jembrana bersama warga di Desa Air Kuning akhir pekan lalu, warga mengeluhkan jaring krakat/pakis yang sempat menjadi perbincangan di media sosial. (Surya Dharma/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *