I Wayan Suartana. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Suartana

Demokrasi elektoral yang diwakilkan oleh pemilu langsung menjadi lapangan bermain betapa indahnya berdemokrasi. Demokrasi semakin indah bila keputusan memilih adalah wilayah privat yang tak bisa diintervensi oleh siapapun dan dengan cara apapun. Terlalu mahal harga sebuah demokrasi bila nirnilai dan mengabaikan fondasi dasarnya.

Pilkada serentak sudah di depan mata. Para kandidat sudah mulai menerapkan strategi, penetrasi publik untuk mengamankan wilayah dan basis elektoral. Pilkada bertumpu pada bagaimana elektoral pemilih mengambil keputusan.

Pendekatan dalam menentukan pilihan yaitu normatif (apa yang seharusnya) dan deskriptif (apa yang terjadi). Terkadang apa yang seharusnya bisa berbeda dengan apa yang terjadi. Apa yang terjadi memasuki wilayah keperilakuan. Wilayah keperilakuan terkadang berpola huruf U terbalik. Pada kisaran tertentu dia bisa linear dan kisaran lain dia tak berpola alias chaos. Anomali menjadi salah satu fenomena yang terjadi.

Baca juga:  Indeks Demokrasi Bali Capai 82,37, Kedua Setelah Jakarta

Secara teori ada tiga faktor yang menggerakkan seseorang mengambil keputusan. Kognitif, emosional dan sosial. Kognitif berkelindan di seputar rasionalitas pemilih sedang emosional digerakkan oleh perasaan. Kognitif mendasarkan diri pada menakar kapabilitas seorang calon dalam solusi permasalahan. Dia berusaha mencari informasi untuk dicerna dan dijadikan dasar penilaian.

Emosional jelas berkaitan dengan perasaan. Mana yang lebih dominan, tidak ada yang tahu. Faktor sosial juga berpengaruh. Meskipun unit analisisnya adalah individu atau yang masuk bilik suara adalah seseorang secara individual ada faktor sosial yang bergelayut dalam koginitf dan perasaannya.

Baca juga:  Harapan Lepas Landas Ekonomi

Sesungguhnya semua pemilih rasional. Cuma dibatasi oleh akses terkadang menjadi rasional terbatas. Saat rasional terbatas inilah orang cenderung untuk mengambil rule of thumb tanpa harus berbelit-belit. Dia hanya menggunakan apa yang tersedia di memorinya dan dihubung-hubungkan dengan yang lain.

Hukum komutatif acapkali diabaikan. A sama dengan B, B sama dengan C, belum tentu A sama dengan C. Cara sederhana ini disebut heuristik. Orang tidak perlu susah-susah. Orang tidak perlu menyisir ke belakang. Dia cukup menentukan pilihan dengan cara yang “sederhana”. Apa risikonya? Risiko terjadinya bias, sangat mungkin terjadi. Fanatisme dengan penjangkaran di benak mereka tanpa melakukan penyesuaian akan menurunkan kualitas keputusan. Hanya mengandalkan  ketersediaan dan keterwakilan di memori bisa jadi akan menimbulkan “penyesalan” di kemudian hari. Karena itu heuristik elektoral harus diletakkan secara proporsional dan menjadi variasi seseorang dalam pengambilan keputusan. Selamat berdemokrasi.

Baca juga:  Perludem: Putusan PN Jakpus Terkait Penghentian Tahapan Pemilu Tak Bisa Dieksekusi

Penulis, Guru Besar FEB Unud

BAGIKAN