HS selaku Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai ditetapkan tersangka. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Masyarakat Bali, bahkan Indonesia sempat dihebohkan kasus dugaan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap petugas fast track Bandara I Gusti Ngurah Rai. Ada lima orang petugas Imigrasi Ngurah Rai yang diamankan tim gabungan Intel dan Pidsus Kejati Bali November 2023. Namun dalam rilis resmi Kejati Bali, dari lima orang yang diamankan, empat orang intensif menjalani pemeriksaan dan satu orang akhirnya dijadikan tersangka.

Yang dijadikan tersangka adalah HS (Hariyo Seto) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah. Setelah enam bulan berlalu, kasus tersebut hingga Minggu (28/4) belum juga ada kabar dirampungkannya perkara tersebut. Bahkan pihak kejaksaan belum ada memberikan statement resmi terkait lamanya kasus fast track Imigrasi Ngurah Rai.

Terakhir, Kasipenkum Kejati Bali, Putu Eka Sabana, saat HUT Adyaksa beberapa bulan lalu menyampaikan update terakhir bahwa perkara ini sedang memeriksa ahli IT.

Jika melihat ke belakang, dalam perkara ini, pihak kejaksaan telah melakukan penggeledahan sebelum tersangka penahanannya ditangguhkan. Dalam Penggeledahan itu, NVR (Network Video Recorder) CCTV merek Hikvision lengkap dengan kabel dan adaptor, DVR (Digital Video Recorder CCTV merek HIK VISION beserta kabel adaptor) dan dokumen lainnya.

Sebelumnya, petugas saat melakukan tangkap tangan menyita uang Rp100 juta, lalu ada sita dokumen SOP, SK Menteri, SK Kepala Kantor, Nota Dinas dan lainnya. Sedangkan saksi yang sudah diperiksa lebih dari 15 orang. Namun demikian, hingga saat ini, bahkan sudah pergantian pucuk pimpinan Kejati Bali, kasus fast track ini belum juga dituntaskan.

Baca juga:  Makin Naik, Nasional Catatkan Tambahan Harian Kasus COVID-19 Lampaui 6.300 Orang

Tak pelak, isu miring sempat beredar bahwa kasus yang telah menetapkan HS sebagai tersangka bakal tenggelam. Namun sumber informasi di Kejati Bali, bahwa kasus ini belum ada indikasi untuk di SP3-kan.

Namun diakui, Kejati Bali mengabulkan permintaan Dirjen Imigrasi terkait penangguhan penahanan tersangka HS. Menurut Kasipenkun Kejati Bali, Agus Eka Sabana kala itu, penangguhan penahanan atas pertimbangan adanya jaminan institusional bahwa tersangka HS tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana sebagaimana permohonan penangguhan yang diajukan Dirjen Imigrasi. Terhitung Senin tanggal 27 November 2023, penyidik menangguhkan penahanan terhadap tersangka HS.

Tersangka HS diwajibkan melaporkan diri kepada penyidik Kejaksaan Tinggi Bali setiap hari Senin dan hari Jumat serta kewajiban lain yang ditentukan oleh penyidik. Sebagaimana dalam rilis sebelumnya dari pihak kejaksaan, disebutkan bahwa terungkapnya perkara dugaan penyimpangan pelayanan fast track di TPI Kelas I Khusus Bandara Internasional Ngurah Rai, awalnya ada informasi masyarakat.

Dari pengaduan itu, tim Kejaksaan Tinggi Bali mendalami dengan menerjunkan tim intelijen selama kurang lebih satu bulan, yakni sejak Oktober 2023. Saat itu petugas melakukan pengamatan langsung di lapangan guna menyelidiki kebenaran informasi yang diterima.

Baca juga:  Mulai Turun, Tambahan Kasus COVID-19 Bali Ada di Bawah 125 Kasus

“Berdasarkan hasil operasi intelijen, berhasil diperoleh data-data intelijen yang mendukung kebenaran adanya penerimaan uang dalam pelayanan fast track yang dilakukan secara menyalahi prosedur/ketentuan tersebut. Berbagai informasi dan data ini untuk kepentingan strategi penyidikan tidak dapat seluruhnya kami ungkap kepada publik. Namun demikian seluruh bukti-bukti yang dikumpulkan dalam proses penyidikan tentu nantinya akan diteliti oleh penuntut umum dan dipertanggungjawabkan pada saat persidangan perkara ini di muka pengadilan. Untuk itu kami berharap publik bersabar dan memberikan waktu kepada Tim Penyidik untuk memproses perkara ini sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku,” ucap pihak kejaksaan saat itu.

Jaksa juga membantah bahwa terdapat tindakan penjebakan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Bali untuk membuat seolah-olah terjadi praktik suap oleh petugas imigrasi. Sebaliknya tindakan di lapangan yang dilakukan oleh Tim Penyelidik merupakan bagian dari upaya memastikan kebenaran bahwa praktik tersebut benar-benar terjadi, yang sebelumnya sudah didukung oleh data-data intelijen yang telah dikumpulkan.

Aspidsus Kejati Bali, Deddy Koerniawan, dalam rilisnya usai melakukan penangkapan kala itu menyampaikan mereka diduga melakukan pungutan liar (pungli). Hanya saja, dari lima orang yang diamankan, pihaknya mengaku belum menetapkan satu orang pun jadi tersangka hari itu. Tetapi penyalahgunaan fast track itu dijelaskan ada.  “Fast track adalah layanan fasilitas prioritas di Bandara Ngurah Rai dalam rangka mempermudah pemeriksaan keimigrasian atau keluar wilayah Indonesia bagi kelompok lanjut usia, ibu hamil, anak dan pekerja migran,” sebut Deddy Koerniawan.

Baca juga:  Perampok Berpistol Sasar Toko Berjaringan di Kuta, Ini Ciri-cirinya

Lanjut dia, bahwa program imigrasi fast track tidaklah dipungut biaya. “Ini tujuan mulia direktur jenderal imigrasi dalam memberikan layanan prima. Namun dalam praktiknya disalahkan gunakan,” sambung Deddy Koerniawan. Ditegaskan, fast track tidak semua dipungut biaya, salah satunya ibu hamil. Namun untuk warga negara asing yang pakai layanan tersebut (fast track) dipungut biaya antara Rp100 hingga Rp250 ribu per orang.

Dengan adanya informasi itu, tim Kejati Bali melakukan pengecekan ke Bandara Ngurah Rai. “Dan setelah kita cek, memang benar ada fakta itu. Yakni, terjadinya penyalahgunaan fast track dengan nilai nominal pungutan mencapai kurang lebih Rp100 hingga Rp 200 juta perbulan,” tegas Deddy Koerniawan.

Dari jumlah tersebut, berhasil disita uang Rp100 juta yang kemudian disita, yang diduga merupakan keuntungan yang tidak sah yang diperoleh dari praktik-praktik tersebut. Pihak Kejati Bali menegaskan, apa yang dilakukan oknum petugas imigrasi di Bandara Internasional Ngurah Rai itu dapat merusak etalase tanah air, dapat merusak citra Indonesia dan sistem pelayanan publik. Dijelaskan, praktik itu by system. (Miasa/balipost)

 

BAGIKAN