Nyoman Sukamara. (BP/Istimewa)

Oleh Nyoman Sukamara

Deliang seorang anak Indonesia, putra pasangan Ario Muhammad dan Ratih Nur Esti Anggraini asal Trenggalek, sudah menulis 30 judul buku di usia 11 tahun. Yang menarik, di balik sukses menghasilkan buku-buku itu, DeLiang telah membaca hampir 400 judul buku. Itulah kekuatan membaca.

Kemampuan membaca menumbuhkan kemampuan bernalar dan akhirnya akan menghasilkan kemampuan menulis. Sayangnya, di Indonesia, membaca belum menjadi budaya.

Sampai saat ini, sistem pendidikan di Indonesia belum menghasilkan budaya membaca. Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2022 menunjukkan kemampuan matematika, sains dan membaca siswa Indonesia menurun, dan penurunan tertinggi, sebesar 12 poin di kemampuan membaca dari 371 menjadi 359 dibandingkan hasil pemeringkatan tahun 2018 dan menempatkan Indonesia di peringkat 11 terbawah dari 81 negara yang didata.

UNESCO menyebutkan, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 1 di antara 1.000 orang Indonesia yang rajin membaca. Senada, riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, menunjukkan Indonesia
menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, di atas Bostwana (61).

Baca juga:  Likuifaksi dan Tata Ruang Wilayah Bali

Data ini menunjukkan Indonesia masih menyisakan tugas sangat mendasar membangun kemampuan dan kebiasaan membaca. Hampir setiap sekolah di semua jenjang, lembaga pendidikan lainnya dan berbagai institusi pemerintahan mempunyai perpustakaan.

Fungsi perpustakaan antara lain: administratif, penelitian, informatif, pendidikan, rekreasi, dan kebudayaan (Darmanto, 2020). Dengan demikian, sebenarnya perpustakaan mempunyai peran strategis dalam membangun kemampuan dan budaya membaca.

Namun, menjadikan perpustakaan sebagai tempat membangun budaya membaca di era digital tidak mudah. Dengan berbagai perangkat dan infrastruktur digital saat ini, masyarakat lebih memilih media sosial digital yang menyediakan berbagai informasi dan hiburan tak terbatas alih-alih ke perpustakaan. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia
lebih dari 100 juta orang yang menempatkan Indonesia menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika.

Di tengah minat baca buku rendah, data Wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Kegilaan masyarakat bermedia sosial digital seharusnya tidak memarginalkan apalagi mematikan peran, sebaliknya adalah tantangan bagi hadirnya perpustakaan yang lebih atraktif dan modern.

Baca juga:  Jangan Salahkan Anak Tak Suka Membaca

Sebagaimana telah dilakukan di beberapa perputakaan (besar), setiap perpustakaan seharusnya mampu memanfaatkan IT (digital) untuk memperkaya ragam, metode dan mutu pelayanan sehingga tetap menarik, menyenangkan dan nyaman sebagai tempat membangun kompetensi, kebiasaan membaca dan pendidikan masyarakat.

Bersaing dengan godaan media-sosial digital, perpustakaan tidak akan mampu berperan sendiri. Diperlukan sinergi berbagai stakeholder dalam membangun ekosistem budaya membaca. Dalam konteks pendidikan formal, diperlukan berbagai terobosan baik terkait kurikulum maupun metode pengajaran yang dapat menumbuhkan minat membaca di setiap jenjang pendidikan sejak pendidikan dasar.

Pemerintah Belanda misalnya, bahkan (akan) menetapkan larangan dengan kekecualian siswa membawa perangkat keras IT ke dalam kelas, sementara Swedia menghentikan pembelajaran mengunakan Gawai elektronik bagi siswa di
bawah 6 tahun. Literasi digital, yaitu kemampuan untuk belajar, bekerja dan menjalani kehidupan sehari-hari di dunia digital (digital skill, digital safety, digital cultur, dan digital etic) masyarakat Indonesia yang baru 62% masih relatif rendah dibandingkan Korea Selatan 97 % dan rata-rata ASEAN 70 %, yang digalakkan pemerintah seharusnya juga menjadi upaya membangun kemampuan dan budaya membaca.

Baca juga:  Tantangan Privatisasi Pantai Bali

Jika berhasil akan terjadi hubungan positip antara literasi digital dan budaya membaca. Sikap kritis masyarakat yang tumbuh dari kebiasaan membaca akan efektif mencegah dampak negatif media sosial digital, misalnya: misinformasi dan disinformasi, polarisasi masyarakat, pinjaman online, dll. Peringatan Hari Buku setiap 17 Mei dan Hari Gerakan Membaca Nasional setiap 12 November sejak lebih dua puluh tahun lalu.

(Sejak 2002) adalah momen bagi pelaksanaan strategi membangun budaya membaca yang seharusnya dilaksanakan secara konsisten berkesinambungan.
Membaca adalah pendidikan paling dasar, kemampuan membaca akan menumbuhkan kemampuan bernalar dan daya kritis.

Membaca adalah modal untuk mengembangkan kemampuan menulis yang masih sering menjadi momok sebagian mahasiswa bahkan dosen di perguruan tinggi. “Jika Anda tidak punya waktu untuk membaca, Anda tidak punya waktu atau alat
untuk menulis,” ungkap Stephen King.

Penulis, Widyaiswara BKPSDM Provinsi Bali

BAGIKAN