Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Memalukan. Barangkali hanya itu kata yang patut disematkan pada kejadian 29/12/2023 saat para wisatawan berlarian dengan membawa kopor berodanya di jalan raya menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai, karena mengejar jam keberangkatan penerbangan.

Semua itu terjadi akibat mobil yang ditumpanginya terjebak macet parah di jalan menuju bandara. Bali yang telah mendeklarasikan diri sebagai destinasi pariwisata berkelas dunia, ternyata mengalami kejadian yang membuat ketidaknyamanan bagi wisatawannya. Kondisi tersebut terjadi akibat minimnya ketersediaan angkutan publik massal yang ada di Bali. Hampir semua wisatawan di Bali harus menggunakan kendaraan privat atau semi privat (sewa).

Data pada 29 Desember 2023 menunjukkan bahwa Bandara I Gusti Ngurah Rai yang dikelola PT Angkasa Pura I tersebut menampung 70.776 penumpang, dengan kendaraan yang masuk dan keluar bandara tercatat sekitar 41.000 unit. Pergerakan kendaraan yang cukup besar juga terjadi pada 23 Desember 2023, dengan 57.936 pergerakan dengan 75.240 penumpang. Data tersebut sekaligus menunjukkan bahwa rerata 2 (dua) penumpang menggunakan satu unit kendaraan pribadi/sewa. Angka ini tentu saja menunjukkan tingkat in-efisiensi yang cukup tinggi dalam penggunaan kendaraan di jalan darat. Sehingga kondisi ini hanya bisa diatasi dengan kehadiran moda angkutan publik massal.

Baca juga:  Pergub 99/2018 Pilar Pendapatan Petani Bali

Hampir semua kota destinasi pariwisata berkelas dunia selalu mengandalkan moda angkutan publik massal berbasis rel (kereta apai) sebagai moda angkutan publik massal utama, yang diintegrasikan dengan beberapa moda angkutan publik pendukung lainnya. Hal ini mengingat kereta api dianggap paling handal dan bisa dikendalikan, meski butuh investasi besar. Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan bahkan pernah menyatakan bahwa groundbreaking LRT (Light Rail Transit/Lintas Raya Terpadu) Bali akan dilakukan pada tahun 2024. Hal ini guna antisipasi atas potensi pertumbuhan penumpang di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai yang diproyeksikan melayani 24 juta penumpang pada 2025 mendatang.

Baca juga:  Tata Kelola SDM Indonesia

Pilihan LRT sendiri sudah dibahas Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Sementara feasibility study (analisis kelayakan proyek) dibantu pemerintah Korea Selatan. Meski skema pendanaannya masih belum jelas, LRT Bali ini diharapkan akan segera terealisasi dan dapat beroperasi pada tahun 2027. Untuk tahap awal, LRT Bali ini akan mengambil rute dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali menuju objek wisata utama di Kabupaten Badung. Direncanakan akan menuju Sentral Parkir Kuta sepanjang 9,4 kilometer, hingga ke Canggu. Selanjutnya baru kemudian akan dikembangkan menuju seluruh wilayah Pulau Bali.

Jika mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP) Provinsi Bali Tahun 2023-2043, rute ini merupakan jaringan jalur kereta api di dalam Kawasan Perkotaan Sarbagita; sebagaimana disebut pada poin 1 huruf a Ayat (2) Pasal 20, Perda RTRWP Bali tersebut. Dalam Kawasan Perkotaan Sarbagita juga sudah direncanakan adanya jaringan jalur kereta api rute : Kuta-Mengwi, Kuta–Nusa Dua, Kuta–Benoa–Sanur–Niti Mandala Renon, dan Sanur–Ubud. Sementara pada Koridor Bali Selatan – Bali Utara, direncanakan adanya rute: Mengwi–Singapadu–Ubud–Kubutambahan–Singaraja.

Baca juga:  Disrupsi Digital Pertanian di Era Globalisasi

Dalam Perda tersebut juga disebutkan adanya rencana jaringan jalur kereta api melingkar mengelilingi Bali. Jalur yang direncanakan meliputi jalur: Gilimanuk–Denpasar melalui Mengwi, Denpasar–Padangbai melalui Singapadu–Kawasan Pusat Kebudayaan Bali, Padangbai–Singaraja melalui Amed, dan jalur Gilimanuk–Singaraja melalui Seririt. Fenomena kemacetan yang menerpa moda transportasi darat di Bali tentu merupakan tanggung jawab semua stake-holders terkait. Tidak cukup hanya Dinas Perhubungan atau insan pariwisata Bali saja, namun semua pihak yang terkait penggunaan moda transportasi darat di Bali harus mendorong penggunaan/kehadiran moda angkutan publik massal.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Uran Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN