Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Sebelumnya, jenis seni (-tari) di Bali dibagi menjadi tiga (3) katagori: 1) Wali, bersifat sakral, sebagai media persembahan (bhakti), spiritnya semata-mata untuk ngayah, pelakunya dapat disebut sebagai “seniman” —  seni berdasarkan keimanan (sradha); 2) Bebali, tergolong semi sakral, sebagai tontonan yang masih kental nilai tuntunannya, dan 3) Balih-balihan, murni sebagai ajang penghiburan (profan) dan para pelakonnya tergolong “senimaan” — lewat pertunjukan seni “maan” (mendapat) upah alias mebayah.

Kini, dengan semakin maraknya fenomena “kerauhan” dan pentas Joged porno, muncul dua (2) tambahan jenis seni, yaitu yang ke-4) seni magi, bernuansa magis ditandai dengan begitu mudah dan semakin banyaknya umat “trance” (kerauhan/ tedun) dalam kesempatan ritual lengkap dengan segala tingkah, ulah dan polahnya, dan 5) seni birahi, khususnya pada pertunjukkan joged bumbung yang karakter aslinya bersifat luhur namun belakangan pakemnya kian luntur, nilai etis dan estetisnya babak belur, namun justru pamornya tambah masyhur lantaran banyak digandrungi masyarakat.

Baca juga:  Bupati Jembrana Tolak Joged Porno Pentas di Jembrana

Bahkan belakangan, semakin eksis dan erotis tampilannya, baik di panggung nyata maupun lewat dunia maya (medsos). Ini yang kemudian membuat Bupati Jembrana, I Nengah Tamba, gerah dengan maraknya kembali Joged bumbung porno (jaruh). Surat Edaran pun dikeluarkan, dan polisi diminta membubarkan jika ada pementasan Joged Jaruh. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Gede Arya Sugiharta pun menyampaikan, perlunya payung hukum yang menyatakan Joged jaruh itu sebagai tindakan melanggar hukum, sehingga penyelenggara dan pelakunya bisa dihukum. (BP, 27/11).

Sebenarnya menyangkut payung hukumnya dapat merujuk UU No. 44 tahun 2008, tentang Pornografi. Pada Bab I Pasal 1 dengan  tegas diyatakan bahwa  Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Jadi, pertunjukkan semacam Joged porno itu dapat digolongkan sebagai aktivitas menjual “jasa” (seni hiburan) sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 2, bahwa jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

Baca juga:  Tidak Perlu Akuntan?

Cukup jelas, dan lugas bukan ? Apalagi kehadiran UU Pornografi (Bab I Pasal 3) ini bertujuan: a). mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; b). menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk; c). memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat; d). memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan e). mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Baca juga:  Mengurai Kemacetan di Bali

Sudah saatnya fenomena kian maraknya Joged porno ini diredam bila mungkin dipadamkan geliat liarnya. Sebab pakem seninya tidak lagi meluhurkan nilai etis, estetis dan artistisnya tetapi justru menghancurkan spirit filosofis berkesenian sebagai upaya membangun kepribadian luhur bangsa dengan menjunjung tinggi harkat, derajat dan martabat  manusia, khususnya krama Bali (umat Hindu) yang sejatinya sangat sosialistis religius.

Kehadiran Joged bumbung bergenre “SPBU” (Sensual-Porno-Birahi-Upah) ini, tidak lebih sebagai seni pertunjukkan  beraroma sensual  bertendensi seksual lewat aksi pornografi secara seronok plus jorok, dengan hasrat memancing birahi (jaruh/buang) penonton dan pastinya dilakukan demi meraup upah (uang/bayaran). Tak keliru jika dikatakan, Joged “SPBU” ini tidak hanya memalukan tetapi juga memilukan sekaligus memuakkan. Lantaran telah melabrak seperangkat nilai (kesusilaan, kesopanan, kesantunan), keadaban, termasuk norma adat, hukum dan agama yang sangat menjunjung tinggi  perilaku baik/benar (asuci laksana), berlandaskan ajaran Tri Kaya Parisudha.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *