Putu Diah Asrida. (BP/Istimewa)

Oleh Putu Diah Asrida

Digitalisasi di dalam bisnis memudahkan produsen untuk menjangkau konsumen dari berbagai daerah sampai dengan mancanegara. Kemudahan berbisnis dengan mengaplikasikan teknologi yang terhubung dengan sistem informasi, mampu memberikan layanan yang cepat di dalam menganalisis pasar, pemrosesan transaksi menjadi lebih mudah (mobile banking) dan mampu menekan biaya modal (operasional) perusahaan. Salah satu cara menarik pelanggan potensial adalah melalui media sosial.

Media sosial saat ini berkembang begitu cepat, tidak hanya digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi, namun juga kerap digunakan dalam transaksi jual – beli. Media sosial yang beralih fungsi menjadi social commerce membawa pro dan kontra yang akhirnya membuat adanya revisi terhadap Permendag No. 50 Tahun 2020 menjadi Permendag No. 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Baca juga:  Di Hadapan Gubernur Koster, Ditegaskan RUU Provinsi Bali Segera Disahkan

Aturan ini memastikan bahwa media sosial hanya diperkenankan sebagai fasilitator promosi barang atau jasa, bukan sebagai wadah transkasi jual – beli online. Permendag No. 31 Tahun 2023 menuai kritikan, bahwa pembeli yang bermigrasi ke platfrom online, seperti Tik Tok Shop, dikarenakan menjual barang dengan harga murah apabila dibandingkan dengan pedagang yang menjual barang lokal. Sehingga yang harusnya dibenahi adalah regulasi barang impor yang terbilang murah dan membanjiri platfrom online. Selain itu dengan dilarangnya Tik Tok Shop memberikan potensi menurunkan sumber pendapatan jutaan penjual di platform tersebut. Di sepanjang tahun 2022, Tik Tok Shop dilaporkan menghasilkan transaksi sebesar $4,4 miliar atau naik 4x lipat dari periode sebelumnya.

Baca juga:  BRI Implementasikan Hybrid Bank

Revisi terhadap aturan ini di dorong beberapa faktor yaitu barang yang diperjualbelikan di platform PMSE belum memenuhi standar, terdapat indikasi praktik perdagangan tidak sehat oleh pelaku usaha di luar negeri yang menjual barang dengan harga sangat murah, daya saing UMKM dan produk dalam negeri masih lemah, belum terwujudnya persaingan usaha dan ekosistem yang sehat dan munculnya model bisnis PMSE yang berpotensi mengganggu ekosistem PMSE dengan memanfaatkan media sosial (social commerce). Tujuannya adalah agar tidak ada penguasaan algoritma pasar yang berlebihan, perlindungan terhadap konsumen dan mendukung pemberdayaan UMKM serta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik dalam negeri.

Baca juga:  Booking Service di Dealer Berlogo Astra Motor Rp 19.910, Ini Caranya

Perlindungan terhadap ekonomi domestik dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi pertumbuhan industri dalam negeri dari persaingan barang-barang impor. Kebijakan ini menjaga stabilitas perekonomian nasional dan melindungi UMKM dalam negeri, tetapi produsen lokal kurang mampu untuk berinovasi dan mengembangkan produknya sehingga penerapan kebijakan ini sebaiknya di selaraskan dengan mengedukasi para pelaku UMKM.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi FEB Universitas Udayana

BAGIKAN