
DENPASAR, BALIPOST.com – Merawat dan mewariskan budaya Bali kepada generasi muda memang bukanlah pekerjaan mudah. Perlu ruang dan motivasi yang berkelanjutan.
Globalisasi dan digitalisasi adalah keniscayaan yang tidak bisa dibendung sepenuhnya. Namun proses adaptasi harus disertai dengan filterisasi nilai yang kuat agar budaya Bali tidak larut dan kehilangan substansinya.
Budayawan Bali, Kadek Wahyudita, S.Sn., M.Sn., menegaskan ke depan menjaga jati diri budaya Bali menjadi sangat penting dan strategis. Kemajuan zaman tidak seharusnya membuat masyarakat Bali kehilangan akar nilai-nilai budayanya.
Ia menyampaikan keprihatinan bahwa perkembangan teknologi dan tren global kerap mendorong budaya diperlakukan sebatas komoditas visual atau konsumsi media sosial, bukan sebagai cara hidup yang sarat makna. “Budaya bukan sekadar tampilan atau tren, tetapi sebuah sistem nilai yang membentuk sikap hidup masyarakat,” ujarnya, Sabtu (27/12).
“Kita boleh mengadopsi teknologi dan cara berpikir modern, tetapi penyaring utamanya harus tetap berpijak pada prinsip keharmonisan yang telah lama menjadi fondasi budaya Bali,” tegasnya.
Menurut Wahyudita, arah perubahan kebudayaan ke depan harus tetap berlandaskan pada tiga pilar keharmonisan. Pertama, menjaga lingkungan agar modernisasi tidak merusak alam yang menjadi ruang sakral bagi kebudayaan Bali. Kedua, menjunjung sikap humanisme, sehingga kemajuan teknologi tidak mengikis rasa persaudaraan, etika, dan nilai kemanusiaan. Ketiga, keteguhan keyakinan, agar nilai-nilai spiritual tetap menjadi ruh dalam setiap tindakan dan inovasi.
Ia meyakini, apabila masyarakat Bali mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar tersebut, maka jati diri budaya Bali tidak akan luntur. Sebaliknya, identitas budaya justru akan semakin kokoh dan relevan.
“Budaya Bali harus hadir sebagai kompas kehidupan yang hidup dan bermakna sepanjang zaman, bukan sekadar menjadi pajangan masa lalu,” tandasnya.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Nyoman Kenak menilai bahwa globalisasi memang tidak dapat dihindari, namun harus disikapi secara arif agar tidak menggerus jati diri budaya Bali yang berakar kuat pada nilai agama Hindu. “Globalisasi membawa kemajuan, tetapi juga tantangan besar. Jika tidak dibarengi penguatan nilai adat dan agama, generasi muda akan lebih mudah terpengaruh budaya luar yang dianggap lebih modern atau trendi,” ujarnya.
Menurut I Nyoman Kenak, salah satu upaya utama yang harus dilakukan adalah memperkuat pendidikan karakter berbasis agama dan budaya sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun desa adat. Nilai-nilai Hindu seperti Tri Hita Karana, Tat Twam Asi, dan desa kala patra perlu terus ditanamkan agar generasi muda memiliki pegangan dalam menyikapi perubahan zaman.
Selain itu, PHDI Bali mendorong agar tradisi dan ritual keagamaan tidak hanya dijalankan secara seremonial, tetapi dipahami makna dan filosofinya. Dengan pemahaman yang mendalam, generasi muda diharapkan tidak melihat tradisi sebagai beban, melainkan sebagai identitas dan sumber nilai kehidupan.
PHDI Bali juga menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi dan media sosial secara positif sebagai sarana edukasi budaya dan agama. Konten-konten digital yang kreatif dan informatif dinilai dapat menjadi media efektif untuk memperkenalkan nilai budaya Bali kepada generasi muda dengan pendekatan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
“Teknologi jangan dilihat sebagai ancaman semata, tetapi sebagai alat untuk pewarisan nilai budaya dan agama jika dikelola dengan bijak,” kata I Nyoman Kenak.
Di sisi lain, ia menegaskan perlunya sinergi antara PHDI, pemerintah daerah, desa adat, lembaga pendidikan, dan komunitas budaya dalam menyusun kebijakan dan program yang berpihak pada penguatan identitas budaya Bali. Ruang ekspresi, pembinaan generasi muda, serta perlindungan terhadap tradisi lokal dinilai harus menjadi prioritas bersama.
Dengan penguatan nilai agama, adat, serta pemanfaatan teknologi secara bijaksana, PHDI Bali optimistis pewaris budaya Bali mampu bertahan dan berkembang di tengah derasnya arus globalisasi tanpa kehilangan jati diri dan karakter budayanya.
Pemerhati seni yang juga Ketua Paguyuban Drama Gong Lawas, Anak Agung Gede Oka Aryana, S.H., M.Kn., menegaskan bahwa pelestarian dan pewarisan budaya Bali memerlukan strategi berkelanjutan yang melibatkan pendidikan, inovasi kreatif, serta sinergi lintas sektor.
Pemerintah daerah (Pemda), khususnya yang membidangi seni budaya Bali, didorong untuk memberikan subsidi kepada desa adat saat pelaksanaan piodalan di pura-pura setempat. Kebijakan ini dinilai penting agar panitia piodalan memiliki kemampuan anggaran untuk memberikan upah kepada sanggar maupun komunitas seni pertunjukan budaya Bali yang terlibat, tanpa menghilangkan nilai ngayah yang selama ini menjadi ruh kegiatan keagamaan dan kebudayaan di Bali.
Menurutnya, dukungan konkret dari pemerintah sangat dibutuhkan agar seni budaya Bali tetap eksis dan berkelanjutan sepanjang zaman.
“Pemda setempat, khususnya yang membidangi seni budaya Bali, bisa memberikan subsidi kepada desa adat ketika ada piodalan di pura. Dengan demikian, panitia piodalan dapat memberikan upah kepada sanggar atau komunitas seni pertunjukan budaya Bali agar tetap bisa ngayah,” ujar Agung Aryana yang berprofesi sebagai notaris ini.
Ia menilai, langkah tersebut menjadi semakin mendesak mengingat kondisi seni pertunjukan tradisional Bali yang saat ini mulai mengalami penurunan. Tidak sedikit seni pertunjukan yang perlahan mati suri, bahkan terancam menghilang atau lenyap.
“Sekarang sudah mulai sedikit demi sedikit seni pertunjukan menjadi mati suri, bahkan menghilang. Salah satu contohnya adalah wayang Calonarang,” ungkapnya.
Selain subsidi piodalan, Agung Aryana juga mendorong Pemerintah Provinsi Bali maupun Pemda kabupaten/kota untuk tidak hanya bergantung pada pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) sebagai ajang utama seni tradisi. Menurutnya, pemerintah perlu lebih sering menggelar event atau festival seni tradisional Bali di berbagai daerah.
“Pemprov Bali atau Pemda kabupaten/kota, selain PKB, juga dimohon lebih sering mengadakan event-event atau festival seni tradisi Bali. Dengan begitu, para seniman Bali mendapatkan ruang yang cukup untuk menampilkan karya-karyanya,” jelasnya.
Ia menegaskan, para seniman merupakan ujung tombak pelestarian seni budaya Bali. Tanpa ruang ekspresi yang memadai dan dukungan nyata dari pemerintah, keberlangsungan seni budaya Bali dikhawatirkan akan semakin tergerus oleh perubahan zaman.
Selain itu, pendidikan budaya, baik secara formal maupun informal, menjadi fondasi utama dalam menjaga keberlanjutan budaya Bali. Peran keluarga, sekolah, dan komunitas adat dinilai sangat krusial dalam mengenalkan nilai-nilai budaya sejak usia dini. Proses pewarisan tidak cukup hanya melalui pengajaran teori, tetapi harus diwujudkan dalam praktik langsung, keterlibatan dalam ritual, serta partisipasi aktif dalam tradisi komunitas.
Selain pendidikan, revitalisasi dan adaptasi kreatif juga menjadi kunci agar seni dan tradisi Bali tetap relevan bagi generasi muda. Oka Aryana menilai bahwa pemanfaatan teknologi digital, media modern, serta pendekatan kreatif dalam pendidikan budaya dapat menjadi sarana efektif untuk menarik minat generasi penerus, tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar budaya itu sendiri. (Ketut Winata/balipost)










