Akibat kekeringan petani terancam gagal panen. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Presiden RI Jokowi menyebut kondisi bumi saat ini berada pada fase mendidih, tidak sehat atau global boiling, lebih dari global warming. Kenaikan suhu bumi jika dibiarkan lebih dari 1,5 derajat Celcius maka diprediksi akan mengakibatkan 200 juta orang mengalami kekurangan air, 14% populasi akan terpapar gelombang panas dan 600 juta orang akan mengalami mal nutrisi akibat gagal panen.

Akademisi dari Politeknik Negeri Bali, I Made Budiada, Rabu (1/11) menegaskan ancaman yang diungkapkan Presiden Jokowi itu nyata adanya. Saat ini ada peningkatan suhu bumi. Maka dari itu kondisi ini hendaknya menjadi warning bagi masyarakat agar waspada terhadap kondisi ini.

Kontribusi dari pembangkit energi fosil terhadap kondisi suhu bumi sangat besar. Untuk mengurangi emisi karbon agar dapat mengurangi efek rumah kaca maka transisi energi sangat perlu dilakukan mengingat kontributor terbesarnya adalah pembangkit dari energi fosil. Namun, efek gas rumah kaca (GRK) tidak hanya dari polusi pembangkit, tapi juga dari polusi kendaraan bermotor, berbagai jenis pembakaran termasuk aktivitas industri atau pabrik seperti pabrik semen, besi-baja dan kimia.

Baca juga:  Lalu Lintas Kendaraan di Jalan Tol Meningkat

Penggunaan bahan kimia seperti freon dan klorofluorokarbon (CFC) dalam pendingin, AC, dan aerosol juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat kuat, seperti hidrofluorokarbon (HFC) dan perfluorokarbon (PFC). “Sumber polusinya bukan hanya dari pembangkit fosil tapi juga dari  kendaraan cuma kontribusinya cukup besar karena PLTU itu terbesar di Indonesia,” ujarnya.

Dikatakannya, PLTU menggunakan bahan bakar batu bara sedangkan PLTU menjadi sumber energi terbesar dari pembangkit listrik selain hidro. PLTU terbesar karena murah dan hasilnya besar terutama di Paiton dan Suralaya yang menjadi sumber listrik Jawa – Bali. Setidaknya dengan transisi energi ke EBT setidaknya dapat mengurangi efek GRK meski ada faktor lain.

Baca juga:  APK Masih Terpasang di Sejumlah Titik Saat Masa Tenang

Sementara Kementerian ESDM menyebutkan, PLTU Batubara merupakan kontributor emisi GRK terbesar sebesar 78% dari total emisi GRK di sektor pembangkit. Berdasarkan lembaga organisasi mahasiswa geografi UGM yang ditulis oleh Setyawan dan Pradita (2023) disebutkan, perpindahan masa dari masa pemanasan global menuju masa pendidihan global menandakan bahwa terjadi penurunan laten pada daya dukung bumi terhadap makhluk hidup yang tinggal di muka bumi.

Baca juga:  Tambahan Warga di Bali Terpapar COVID-19 Masih di Atas 800, Korban Jiwa Capai Puluhan

Penyebab terbesar dari perpindahan masa ini adalah pembakaran bahan bakar fosil. Emisi karbon dari bahan bakar fosil yang lepas di atmosfer setidaknya telah mencapai angka 36,6 gigaton sepanjang tahun 2022, dengan kontribusi terbesarnya berasal dari kegiatan penerbangan internasional pascapandemi Covid-19 (ESSD, 2022).

Emisi karbon dari bahan bakar fosil disumbang oleh empat sumber utama, yakni minyak bumi, batu bara, semen, dan gas alam. Emisi karbon terbesar adalah karbon dari batubara yang memberikan persentase sebesar 41 persen dengan total polutan sebanyak 15,1 gigaton, diikuti oleh minyak bumi dengan total polutan karbon sebesar 12,1 gigaton, gas alam sebesar 7,9 gigaton, dan industri semen sebesar 1,5 gigaton. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN