Nyoman Sukamara. (BP/Istimewa)

Oleh Nyoman Sukamara

Mewujudkan Indonesia Emas 2045, yaitu Indonesia maju, sebagai 5 besar kekuatan ekonomi dunia, dengan nominal PDB sebesar USD 9.100 miliar, PDB per kapita USD 30.000 per tahun dan angka kemiskinan 0,5-0,8 persen dalam waktu 20 tahun ke depan, sungguh tidak mudah. Tiga acuan pencapaiannya: stabilitas, keberlanjutan dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang tidak hanya mencakup jumlah tetapi juga kualitas.

Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, Indonesia sudah mencapai kemajuan signifikan di beberapa bidang. Bahkan sebagai negara bangsa, secara politik Indonesia telah mampu membangun kepercayaan dan respek global. Namun, beberapa bidang lain, sekalipun menunjukkan kemajuan, masih tertinggal dibandingkan capaian negara-negara lain. Presiden Jokowi sering mengingatkan bahwa melangkah maju saja tidak cukup, diperlukan lompatan-lompatan untuk mengejar ketertinggalan ini.

Korupsi dan Karakter SDM Indonesia

Modal utama untuk menuju Indonesia Emas 2045 adalah bonus demografi. Puncak bonus demografi diperkirakan terjadi tahun 2030, dimana 68,03 persen dari total penduduk adalah penduduk usia produktif. Sebuah peluang yang sangat baik yang tidak akan terulang. Persoalan Indonesia hari ini adalah kualitas SDM dan korupsi akut dan masif. Sementara, sebagaimana disimpulkan Kimberly Anna Elliot, korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi (Korupsi dan Ekonomi Dunia, 1999). Kata Almarhum Bapak Ciputra, Indonesia tidak maju bukan karena orang-orangnya bodoh, tetapi karena kurang serius dalam bekerja.

Baca juga:  Keluarga Literat, Indonesia Hebat

Sementara Rhenald Kasali pernah menyampaikan bahwa Indonesia tidak kekurangan orang pinter, tetapi memiliki sedikit orang bertanggung jawab, dan lebih sedikit lagi orang jujur. Walaupun menuai kontroversi, hampir setengah abad lalu, Mochtar Lubis, disamping ciri positif, mengungkapkan beberapa ciri negatif manusia Indonesia, antara lain: munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, jiwa feodal, percaya takhyul, berkarakter lemah/kurang kuat, lebih suka tidak bekerja keras, cepat iri hati, gampang senang dan bangga.

Ungkapan ke tiga tokoh tersebut menggambarkan persoalan karakter dan mental manusia Indonesia. Bila dicermati, karakter-karakter ini mempunyai benang merah dengan tumbuh suburnya perilaku koruptif yang memiskinkan Indonesia. Jika korupsi berarti kebusukan atau pembusukan kemanusiaan, maka moralitas penting menjadi panduannya (Andang L. Binawan dalam Korupsi Kemanusiaan, 2006).

Membangun Manusia Indonesia, karenanya tidak cukup mencakup Science, Technology, Engeneering, Art, dan Mathematics (STEAM) melalui pendidikan formal. Pengembangan SDM di Indonesia selama ini lebih berfokus padapengetahuan/pemahaman, kurang menyentuh aspek keterampilan dan aspek sikap perilaku. Seperti ada benarnya apa yang diungkapkan oleh Bapak Nadiem Makarim, Mendikbudristek yang mengatakan bahwa gelar akademik tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, kita memasuki era dimana masuk kelas tidak menjamin belajar.

Baca juga:  Pengambilan Sumpah Puluhan PNS, Bupati Suwirta Ingatkan Tingkatkan Kerjasama

Kemendikbudristek atau lembaga mana pun yang berwenang seharusnya tidak membiarkan apalagi membenarkan ironi ini. Praktik-praktik seperti ini biasa ditemui ini dalam kehidupan sehari-hari, dimana masyarakat lebih fokus pada kulit dibandingkan substansi, lebih fokus pada hasil dan mengabaikan proses. Lebih fokus pada yel-yel daripada praktik dan pada akhirnya berhenti pada jargon-jargon. Hasilnya, kita sepertinya sudah melakukan banyak hal untuk suatu masalah, tetapi faktanya tidak menyelesaikan permasalahan sesungguhnya.

Pemerintah sudah membangun lembaga, instrumen dan program memerangi korupsi (dari tingkat pusat sampai daerah), tetapi faktanya korupsi tidak kunjung berkurang, bahkan sudah terbukti (oknum) pejabat puncak di beberapa lembaga (Kejaksaan Agung, BPK, KPK, MK) adalah pelaku korupsi alih-alih memerangi korupsi. Di bidang pendidikan sangat latah ganti menteri ganti kurikulum, faktanya pendidikan kita termasuk bidang yang tertinggal, bahkan di antara negara-negara ASEAN.

Baca juga:  Produktivitas Pekerja Bali Rendah

Revolusi Mental

Dibutuhkan pendidikan mental mulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga sampai lingkungan terbesar yaitu masyarakat. Juga diperlukan implementasi lebih konkret program- program Revolusi Mental yang digagas Pak Jokowi sejak masih Gubernur Jakarta. Diskursus dan praktik-praktik keagamaan yang begitu semarak (konon paling semarak sedunia) yang dilakukan secara tepat sesungguhnya bisa berperan strategis membangun moral bangsa.

Peran pemimpin sebagai role model dalam membangun mental juga sangat strategis. Seharusnya, setiap pemimpin adalah role model bagi lingkungannya, setidaknya bagi yang dipimpinnya. Pak Jokowi seharusnya adalah role model bagi rakyat Indonesia. Faktanya, bahkan beberapa menterinya pun gagal mejadikan dirinya role model bagi lingkungannya, sebaliknya terbukti korupsi. Juga banyak kepala daerah lain. Kemampuan menjadi role model masih menjadi pekerjaan rumah bagi kebanyakan pemimpin dan calon pemimpin Indonesia di level mana pun. Apabila permasalahan mental SDM dan korupsi belum teratasi, Indonesia Emas 2045 bisa jadi hanya sebuah angan-angan. Nasibnya bisa sama seperti cita-cita Indonesia Tinggal Landas rezim Orde Baru.

Penulis, Widyaiswara BKPSDM Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *