Sekda Buleleng Gede Suyasa ditemui awak media. (BP/Yud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Sekda Kabupaten Buleleng, Gede Suyasa menjadi saksi kasus gratifikasi mantan Kepala Kejaksaan Negeri Buleleng, Fahrur Rozy. Suyasa dipanggil oleh penyidik Kejaksaan Agung pada Sabtu (1/8 ). Mantan Kadisdikpora ini dicecar belasan pertanyaan terkait kasus pengadaan buku di lingkungan desa dan beberapa sekolah.

Ditemui, Jumat (4/8), Suyasa membenarkan dirinya dipanggil ke Jakarta oleh Penyidik dari Kejaksaan Agung. Suyasa pun menjelaskan dan membenarkan kepada penyidik pada tahun 2017 silam ada pengadaan buku untuk beberapa sekolah.

Baca juga:  Mantan Ketua Kadin Bali Laporkan Penerima Dana

Kala itu, penjabat asal Desa Tejakula ini mejabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Namun Suyasa tidak menjelaskan secara rinci berapa sekolah yang melakukan pengadaan buku tersebut.

“Yang jelas apa yang saya ketahui dan alami saat itu sudah saya sampaikan ke penyidik. Nanti di BAP dan di persidangan akan muncul. Saya tidak mengetahui berapa sekolah yang melakukan pengadaan buku. Yang jelas semua hal sudah saya sampaikan,” katanya.

Sementara Mantan Ketua Forum Komunikasi Desa dan Kelurahan (Forkomdeslu) Buleleng Made Suteja menerangkan, sejumlah perbekel kala itu menolak untuk melakukan pengadaan buku pada tahun anggaran 2017 lalu, lantaran takut menjadi temuan BPK. Pasalnya seluruh desa rata-rata belum memiliki gedung perpustakaan.

Baca juga:  Gratifikasi Mantan Kajari Buleleng, Transfer Dana Miliaran Rupiah Libatkan Sekretaris

Di samping itu kata Suteja, Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat kabupaten sudah final. Sehingga para perbekel tidak dapat mengubah anggaran untuk pengadaan buku tersebut. “Kami diarahkan untuk membeli satu paket buku seharga Rp 50 juta. Namun rata-rata di beberapa desa belum ada gedung perpustakaan, kok membeli buku,” kata Suteja.

Penolakan tersebut pun membuat mantan Perbekel Dencarik ini dipenjara. Suteja divonis satu tahun atas perkara korupsi APBDes Dencarik tahun anggaran 2015-2016 senilai Rp 149 juta.

Baca juga:  Penahanan Dewa Puspaka Diperpanjang

“Padahal anggaran itu untuk pembangunan kantor desa, tidak ada unsur korupsinya hanya karena salah administrasi saja. Ya begitu lah kalau berpikir benar, tidak menjamin aman. Hukum bisa dikondisikan, mereka bisa menggunakan kewenangannya dengan sewenang-wenang. Baru sekarang akhirnya ada jawabannya, penegak hukum juga melanggar,” sebut Suteja. (Nyoman Yudha/Balipost)

BAGIKAN