I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa, S.Pd., M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh I Putu Gede Sutharyana Tubuh Wibawa, S.Pd., M.Pd.

Jika dalam sepuluh tahun terakhir kehadiran mesin pencari seperti Google dan Yahoo sangat membantu dalam memberikan informasi, maka kini muncul Artificial Intelligence (AI) sebagai generasi penerusnya. Beberapa kelebihan yang signifikan pun ditawarkan.

Pada proses pendidikan yang notabene mengajak guru dan siswa mengakses informasi serta membermaknakan ilmu pengetahuan, hadirnya AI diprediksi dan pada beberapa kasus telah memberi dampak yang amat substansial. Hanya saja dalam beberapa survei yang dilakukan menunjukkan sebagian besar guru belum tahu informasi tentang AI, termasuk cara mengaksesnya dan juga dampak dari AI tersebut.

Padahal AI memanjakan penggunanya dengan berbagai akses cepat, tepat, dan logis terhadap berbagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Salah satu aplikasi AI yang populer adalah ChatGPT yang bisa diakses melalui laman chat.openai.com. Pengguna cukup login dengan menggunakan akun email google dan melakukan verifikasi nomor Whatsapp, maka Chat GPT sudah siap menjadi asisten pribadi kita.

Kemudahan akses terhadap AI juga sekaligus tantangan besar untuk dunia pendidikan. Guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan harus paham betul bahwa AI berpotensi untuk membantu siswa belajar sekaligus juga memiliki peluang besar untuk disalahgunakan, utamanya dalam menyelesaikan tugas-tugas dalam bentuk tes.

Baca juga:  Pelajaran dari Venezuela

Sepintas ChatGPT ini mirip dengan google yang bisa memberikan informasi yang diperlukan oleh pengguna, namun dengan ChatGPT pengguna bisa mendapatkan informasi yang lebih luwes, tepat dan bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang memerlukan penalaran. Penulis mencoba untuk akses ChatGPT dan meminta informasi terkait materi pembelajaran yang akan diajarkan di kelas, maka begitu pertanyaan diajukan, dalam hitungan detik berikutnya jawaban muncul dan juga disertai dengan alasan-alasan pendukungnya. Sebenarnya ini sangat membantu guru. Lalu bagaimana jika siswa melakukan hal yang sama?

Sebagai contoh, pada pembelajaran di SD yang membutuhkan penalaran, diajukan pertanyaan “Berapa luas persegi yang kelilingnya 80 cm?” Chat GPT langsung memberikan respon bahwa “Untuk mencari luas persegi, kita perlu mengetahui panjang sisi persegi tersebut. Karena keliling persegi adalah 80 cm, maka panjang sisi persegi dapat dihitung dengan cara membagi keliling dengan jumlah sisi, yaitu:

sisi = keliling/4 = 80 cm/4 = 20 cm. Setelah mengetahui panjang sisi, maka luas persegi dapat dihitung dengan cara mengalikan panjang sisi dengan lebar sisi, yaitu : luas = sisi x sisi = 20 cm x 20 cm = 400 cm² Jadi, luas persegi tersebut adalah 400 cm².”

Baca juga:  Inovasi dalam Manajemen LPD

Sangat fenomenal karena soal-soal semacam di atas merupakan permasalahan HOTS (higher order thinking skills) atau permasalahan yang memerlukan pemikiran tingkat tinggi yang level kognitifnya C4. Tidak kalah dengan level C4, ChatGPT juga mampu menyelesaikan permasalahan level kognitif C6 yaitu mencipta.

Instruksikan ChatGPT “Buatlah cerpen dengan tokoh utama Wawan dan bertema hormat terhadap orang tua dalam 1000 kata!”. Beberapa saat kemudian muncullah cerpen yang dimaksud. Berikut kutipan jawabannya, “Wawan adalah seorang pemuda yang hidup di sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Ia hidup bersama keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, dan adik perempuannya. Meskipun mereka tidak memiliki kekayaan yang berlimpah, Wawan selalu merasa bahagia karena keluarganya selalu memberikan kasih sayang dan dukungan yang tidak terhingga (dan seterusnya).

Benar saja kita disajikan cerpen yang tokoh utamanya Wawan sesuai dengan tema dan jumlahnya 1.000 kata. Banyak lagi soal berlevel C4 hingga C6 yang bisa diselesaikan oleh ChatGPT ini, termasuk soal-soal di jenjang PAUD, SMP hingga SMA/SMK. Guru bisa mengambil sisi positif hadirnya AI karena bisa mempermudah pekerjaan, termasuk memerintahkan ChatGPT untuk menyusun soal. Namun, ada hal-hal yang harus diantisipasi guru menghadapi siswa agar tidak kecolongan. Pertama, kurangi pembuatan soal standar.

Baca juga:  Kesenian Bali Tak Ada Matinya

Lakukan asesmen secara otentik. Misalnya, soal-soal yang diberikan berbeda antara satu dengan yang lain sesuai dengan tempat tinggalnya, sehingga jawabannya diperoleh berdasarkan lingkungan tempat tinggal siswa tersebut.

Kedua, lakukan project baset learning (PjBL), perbanyak mengajak siswa melakukan aktivitas-aktivitas proyek yang menghasilkan sesuatu gagasan, kesimpulan atau produk berdasarkan permasalahan yang ditemukan di lapangan.

Ketiga, berikan siswa tugas-tugas yang bersifat relasional yang memupuk kerjasama. Ini dilakukan karena tugas-tugas yang bersifat relasional belum bisa diselesaikan oleh AI.

Keempat, kaitkan tugas dengan area sosial-emosional. Keterampilan seperti empati, kecerdasan emosional dan kemampuan untuk memahami serta mengekspresikan perasaan dan emosi adalah hal yang tidak dapat diwakilkan oleh teknologi AI. Semoga dengan respon lebih awal akan hadirnya AI, guru semakin siap mengarungi kemerdekaaannya dalam mengajar. Hadirnya temuan baru pasti meninggalkan dua sisi positif dan negatif, tugas kita untuk memanfaatkannya sehingga tercipta ruang kolaboratif dan bermanfaat untuk menumbuhkan kualitas literasi secara holistik.

Penulis, Kepala SD No. 2 Penarungan Guru Penggerak Kemdikbudristek

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *