(BP/Istimewa)

Oleh Tatang B.Sp

Antroposentrisme menjadikan manusia sebagai pusat alam semesta, ia menjadi subyek utamanya. Di luar itu hanyalah sekadar obyek yang memiliki kepastian untuk tunduk dalam penguasaannya. Modernisme yang sedang kita rayakan hingga kini, sejatinya adalah bagian dari proyek apa yang disebut sebagai paham ‘manusia sebagai pusat’ itu.

Dalam tatapan manusia modern, alam menjadi telanjang, dibuka dari segala mitosnya. Kesemestaan yang menyimpan kehidupan bermilyar renik itu disingkirkan dari enigmanya.

Ia hanyalah himpunan objek fisik yang terang- benderang, bisa dilacak, dijelaskan dan dipastikan. Di hadapannya, tak ada lagi rasa tergetar oleh yang tak terduga-duga.

Tak ada rasa gairah terhadap apa yang tak terkendali dan tak mampu diselami sepenuhnya. Alam semesta dipreteli misterinya, diusir segala keajaiban yang singgah di sana.

Abad 18, rasionalisme matang di Inggris: revolusi industri mengubah wajah dunia. Sejarah mula manusia modern merayakan abad mesin.

Mesin-mesin menjadi pusat penanda kemajuan.
Kehidupan dijalankan dengan semangat sikap efektif dan efisien.

Sebuah konstruksi yang sistematis dan stabil tentang dunia maju yang diimpikan manusia modern. Di luar itu adalah apa yang disebut sebagai keterbelakangan. Musuh yang harus disingkirkan.

Perubahan itu, makin mengokohkan sikap subyektif manusia modern atas alam. Terutama menunjukkan bahwa setiap tindakan strategis manusia hanya dilandasi semata-mata oleh apa yang sering disebut sebagai rasio instrumental. Yakni sikap untuk memanfaatkan alam secara total sebagai obyek yang sepenuhnya bisa diketahui dan dikendalikan.

Tapi dalam perjalanannya, terutama di masa kini, semakin manusia mengunggulkan sikap dan kesadaran subjektif terhadap alam, semakin manusia terjebak dalam kecemasannya sendiri. Rasionalisme memang membawa kemajuan pengetahuan.

Tapi pada saat yang berbarengan juga melahirkan kekuasaan dan kekayaan bagi sebagian manusia di planet bumi dan kesengsaraan bagi yang lain. Bolehlah orang mengatakan bahwa evolusi biologis adalah sejarah perkembangan mahluk hidup yang sempurna.

Bermula dari tahap perkembangan hewan yang lebih rendah kemudian lahir perkembangan hewan pada tahap yang lebih tinggi, misalnya mamalia, dan berlanjut menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai manusia.
Tapi evolusi biologis tak selalu sebanding dengan evolusi moral-etik.

Dengan berbagai kenyataan, manusia terbukti lebih sering merosot derajat perilakunya ketimbang hewan.
Pertikaian antar kelompok, pembunuhan, perang dan genocide adalah kenyataan yang cukup menjadi bukti.

Ketidakwarasan kita dalam memperlakukan alam hari-hari ini juga bagian dari kenyataan moral-etik yang buruk, bukan?

Modernitas bertumpu pada kapitalisasi dalam segala hal, tak kecuali sumber daya alam. Eksploitasi atasnya merupakan sejarah abadi dalam perjalanan hidup manusia modern.

Pohon dirampas hidupnya, dibabat dengan membabi buta. Air semakin kehilangan sumbernya ; tumpuan hidup yang utama bagi setiap mahluk makin menyusut.

Itu belum lagi bagaimana watak dasar pasar kapitalistik yang keras kepala. Kekuasaan ekspansi modal finansial melaju dengan daya hegemoni.

Bagai siluman menerobos masuk ke hampir semua bidang kehidupan. Segalanya bisa tumbuh dan runtuh dalam dalil pasar itu.

Kuasanya meresap dalam kesadaran kita, membentuk habitus yang tidak lagi terpikirkan. Ia sudah menjadi semacam prinsip besar yang menopang gerak-gerik kita sebagai lautan ketidaksadaran.

Baca juga:  Pasar Kidul Kembali Terbakar

Pelatuk itu datang dari segala penjuru. Tak luput menyasar ke lingkungan; alam tempat kita hidup.
Dampaknya kita tahu, misalnya soal kapitalisasi sumber mata air telah terjadi di mana-mana.

Lahan bisnis dengan kepastian tujuan akumulasi modal dan laba. Air, yang menjadi sumber hajat orang banyak itu, beralih kepenguasaannya. Tak lagi negara.

Kecemasan yang tidak klise

Seni instalasi Mengeringkan Air karya I Ketut Putrayasa hadir di tengah situasi semacam itu. Karya ini dipajang di sebuah gedung yang berusia beberapa abad. Sebuah bangunan kuno yang menjadi saksi sejarah.

Adalah infrastuktur peninggalan Inggris pada masa VOC di Banyuwangi; gedung yang menyimpan riwayat kejayaan rempah Nusantara masa silam.

Katakanlah, Putrayasa berusaha memindahkan dunia kehidupan ke dalam seni. Seni instalasinya adalah gelanggang tarung antara yang indah dan yang sepele, antara formalisme seni dan kontekstualisasinya.
Puluhan jemuran pakaian dan puluhan kantong plastik sebagai benda keseharian yang sepele itu berfungsi mengganggu ‘kemurnian’ seni.

(BP/Istimewa)

Dengan itu kita beroleh pengasingan di satu sisi dan keakraban di sisi yang lain. Maka yang terjadi adalah persaingan bolak-balik antara seni dan fragmen kehidupan. Keduanya bisa saja saling mensubversi.

Lima pilar berbahan semen pada karyanya sengaja dibiarkan tak rapi dan tak selesai. Besi -besi beton pada masing-masing pilar terlihat menjuntai ke atas.

Puluhan jemuran pakaian dari besi dengan warna-warni Psychedelic Art menancap pada pilar-pilar itu. Tampak pula, air dalam kantong-kantong dicantelkan dengan masing-masingnya bertulis kata yang bermakna air dari berbagai daerah di Indonesia.

Dengan itu semua, Putrayasa hendak apa?

Kekokohan pilar-pilar itu mengingatkan kita pada tanda simbolik lingga. Sebuah monumen kedigdayaan phallus yang dikukuhkan.

Kekuasaan yang sering diasosiasikan sebagai maskulinitas ideal hasil konstruksi sejarah patriarki yang menempel sepanjang peradaban modern.
Eksploitatif, merambah, menjelajah dan menjajah, begitulah watak maskulin. Tanpa perimbangan potensi feminin, alam diperkosa hingga batas yang melampaui daya hidup alam itu sendiri. Terus-menerus diperah, lalu rusaklah ia.

Ketidakselesaian pilar-pilar itu menyiratkan sebuah proses; tentang apa yang belum berakhir.
Sebagaimana betonisasi yang tak henti merambah lahan-lahan kosong di masa kini, bersamaan itu berjuta-juta pohon harus tumbang karenanya.

Sesuatu yang akan terus bergerak dalam ruang modernitas, yang senantiasa menerabas bersama pertanyaan: kapankah situasi ini bisa dikendalikan?

Modernitas menyimpan sisi gelapnya sendiri.
Sebagaimana kengerian besi-besi beton dingin dan berkarat yang menyembul di ujung pilar-pilar itu.
Tampak menjuntai ke atas seakan hendak menantang langit.

Di situlah kita menemukan kejutan visual.
Sebuah isyarat tentang keangkuhan dan ancaman di hadapan kita. Putrayasa mendedahkan ketidakberdayaan alam dan sekaligus ancaman humanitas. Ia hendak mengatakan bahwa monumen maskulin semacam itu pada akhirnya juga berarti tanda kebengisan.

Tapi di sisi yang lain, ada jenis ancaman yang muncul dari arah tak terduga: kita dibuat tak berdaya tanpa menyadarinya. Kengerian yang datang disamarkan oleh sesuatu yang memikat. Dikelabuhi dengan cara yang paling halus.

Lihatlah warna-warni Psychedelic Art yang melapisi puluhan gantungan baju dari besi. Tampak memikat, memanjakan dan menyihir mata.

Baca juga:  Ini, 5 Minuman yang Sehat Dikonsumsi

Begitu kuatnya daya pukau warna-warni jenis ini. Tapi di sebalik kemeriahannya, bukankah dalam warna-warni itu ada sesuatu yang “murung”?

Sebagaimana dalam sejarahnya, Psychedelic Art yang dirayakan di AS di akhir tahun 60 an itu bersamaan dengan gelombang gaya hidup pemuja kebebasan.
Kemeriahan warna-warninya terinspirasi oleh pengalaman-pengalaman psychedelic atau bentuk kesadaran akibat obat-obat yang menyebabkan efek halusinasi dan adiksi.

Dari situ kita bisa membayangkan halunisasi massal oleh kegenitan oksimoron yang seringkali memperdaya kita di hari-hari ini. Mengkampanyekan kepedulian terhadap air, tapi pada saat yang sama habis-habisan merusaknya.

Basa-basi itulah yang tersembunyi dalam melanggengkan sejumlah praktik privatisasi atas air.
Narasi dibuat sedemikian bergula, warna-warni dan semengkilap mungkin demi melicinkan jalan tipu muslihat.

Demikianlah misalnya dalam wilayah Bali, kita menemukan praktik itu terjadi dengan atas nama gemerlap industri wisata. Lalu bersamaan itu, kita berhadapan dengan rasa was-was: tahun 2030 Bali di bawah ancaman krisis air bersih.

Putrayasa membuka kesadaran kita melalui jendela lain.
Yang darinya kita bisa melihat kenyataan dengan lebih jujur. Bahwa tidak semua yang berwarna indah selalu berakhir menentramkan. Di dalam yang indah juga bisa saja menyimpan ancaman.

Kita tak bisa menahan diri untuk abai pada warna-warni itu. Kepada kita, Putrayasa tidak hanya memperlihatkan keindahan warna semata.

Keindahan warna-warni itu menyembunyikan sisi lain; di sebaliknya menyimpan sesuatu yang berbahaya.
Kita diajak membebaskan diri dari daya sihirnya.
Menatap warna-warni itu berarti menyediakan diri untuk menerima apa yang tidak tampak kasat.
Maka, kesadaran kita bergerak diantara kemeriahan dan kengerian.

Ancaman itu juga menghujam ke jantung kebudayaan kita. Cara orang-orang Nusantara memaknai air memiliki sejarahnya sendiri.

Air tak pernah semata-mata sekadar urusan pragmatis.
Lewat proses kebudayaan, air ditingkatkan nilainya melampaui fungsinya. Tak semata untuk menopang kebutuhan praktis manusia, tapi ditransendensikan menjadi nilai-nilai mulia yang hidup dalam masyarakat tradisi.

Dengan kesadaran semacam itulah kita mengenal kejayaan Sriwijaya. Ia bukan hanya tentang sejarah perdagangan jalur laut semata, tapi juga ikhwal kebudayaan maritim di dalamnya.

Menengok kembali masa lampau yang jauh sebagai refleksi atas masa kini melalui perangkat bahasa.
Mata Dewa Ra yang dicetak dalam tiap kantong plastik itu dipasang sebagai simbolisme tentang kesuburan yang lahir dari suara masa silam Mesir.

Masa ketika kebudayaan Mesir dilindungi oleh Ra, Dewa Bulan perawat kesuburan pada tradisi Mesir kuno.
Begitulah Putrayasa di satu sisi menggunakan bahasa simbolik sebagai cara ungkap.

Sisi yang lain adalah dengan bahasa literer, yakni berupa tulisan yang merujuk istilah air dari berbagai versi daerah dan sejumlah suku di tanah air. Berbagai istilah itu menempel pada puluhan kantong plastik.

Boleh jadi ini ada sangkut pautnya dengan sejenis romantisme yang memiliki korelasi sosiologis dengan ‘endapan kesadaran’ dalam masyarakat agraris tradisional.

Kita bisa membayangkan bagaimana simbol dan tulisan-tulisan itu sebagai mozaik yang hadir dan hidup dalam pikiran. Mengusik kesadaran kita untuk terlibat ke dalam apa yang menjadi kegelisahan Putrayasa.
Tentu bukan seperti perayaan kata-kata kosong dan tautologis, sejenis klise yang menggerogoti kapasitas berpikir kita.

Baca juga:  Sumber Air di Tabanan Hanya Aman Hingga 5 Tahun ke Depan

Kombinasi dari yang simbolik dan yang literer dihidupkan kembali dalam ruang refleksi. Dan sebagaimana setiap refleksi, ia lebih sering tidak terbaca karena disangkal oleh ketidakpopuleran.
Tapi paling tidak, pada Putrayasa, hasrat menengok khazanah pengetahuan dan kebijaksanaan tentang air pada masa silam memiliki kemungkinan dijadikan basis gagasan sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya.

Saya kira, Putrayasa menyadari dan tahu resikonya.
Pada suatu masa ketika produk pemikiran dianggap tidak lagi punya telos (tujuan) dan dianggap tidak penting, bisakah pemikiran yang serius mendapatkan tempat?

Dalam situasi yang ‘ogah mikir’ itu, yang klise menjelma sebagai timbunan sampah dalam otak kita. Begitu banyak khazanah pengetahuan tentang air yang bila kita baca lagi kini hanyalah sekedar pengulangan, bukan?

Rutin sebagaimana slogan kosong iklan layanan masyarakat tentang kepedulian lingkungan.
(Dalam hal ini kita kita menghadapi masalah serius, bukan?).

Melalui berbagai bahasa daerah itu, kita menduga bahwa Putrayasa hendak menyajikan sejenis perayaan khazanah yang sarat makna dalam budaya masyarakat tradisi dengan cara yang klise. Sedemikian berartikah menggaungkan kembali ‘suara lama’ di tengah kebisingan masa kini?

Seperti halnya utopia yang menyelinap dalam dongeng masyarakat Atlantis tentang hidup bersama lingkungan alam yang serba sempurna di tengah dataran masa kini yang penuh chaotic.
Bukankah itu sama artinya terjangkit verbalisme?

Tentu dugaan itu keliru. Sebab, melalui jalinan kode visualnya justru menunjukkan bahwa karya ini bukan sejenis renungan romantik, tapi perayaan tentang ironi di masa kini.

Sebuah kenyataan bahwa nilai kemuliaan air disanjung di saat masyarakat tradisi makin kehilangan ruang reproduksinya di tengah arus kapitalistik.
Arus inilah yang dulu kita katakan bahwa sumber persoalan kebudayaan adalah ketidaktahuan, bisa jadi sekarang adalah banalitas atau kedangkalan.

Tapi mengapa Putrayasa mencomot budaya Nusantara dan Mesir sebagai dua kebudayaan bangsa yang berbeda sebagai sumber gagasan?

Barangkali baginya, dalam situasi global kini para seniman mustinya sadar diri bahwa budaya asal belum tentu cukup untuk dijadikan sebagai satu-satunya sumber penciptaan.

Tak lain, seniman mestinya sebagai pelintas batas yang trengginas, siap menyambut sekian khazanah lain masuk ke dalam dirinya.

Lalu, di luar itu semua, untuk memahami karya Mengeringkan Air sampailah kita pada pertanyaan: bukankah air, yang berpaut dengan hajat orang banyak itu, sesungguhnya dikuasai oleh negara?

Jawabannya terselip pada salah satu pilar beton karyanya, sebuah tulisan warna emas yang mencakup simbolisme sekaligus enigma ’33:3′. Itu merupakan angka ‘tuah’ dalam konstitusi UUD 1945: pasal 33 ayat 3. Ada apa dengan pasal itu sekarang, masih bunyikah?
Begitulah gugatan Putrayasa.

Mungkin tidak terlalu keliru untuk mengatakan, para seniman ialah pencipta dan sekaligus penantang hasil renungannya. Tanpa itu mereka hilang, termasuk Putrayasa di dalamnya. Sebagaimana air berasal dari sumbernya, apa arti semua ini? *

BAGIKAN