Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Keluhan masyarakat dan pelaku usaha lokal di Bali atas perilaku turis mancanegara akhir-akhir ini patut mendapat perhatian. Kedatangan mereka ke Indonesia seharusnya memberikan manfaat bagi perekonomian lokal dengan terciptanya peluang usaha dan lapangan kerja. Namun yang terjadi sebaliknya, beberapa dari mereka justru bekerja dan berusaha yang tidak sesuai dengan visa kunjungan sebagai turis. Tindakan pelanggaran telah dideteksi pemerintah daerah hingga Kementerian Pariwisata, dan ditangani kepolisian atau imigrasi.

Sejauh ini pelanggaran yang ditemukan adalah turis mancanegara melakukan pekerjaan sektor informal, seperti berjualan sayuran, membuka rent car, melatih tari dan jasa lainnya. Diharapkan tidak ada pelanggaran pada profesi-profesi strategis yang seharusnya diperuntukkan bagi warga lokal dan tidak sesuai dengan visa turis. Ditemukannya turis mancanegara yang yang memanfaatkan waktu di Bali untuk bekerja menafkahi dirinya sendiri selain bekerja karena ditugaskan dari tempat kerja di negara asalnya (work from Bali), tentu terkait kebocoran pariwisata (tourism leakage).

Hal ini akan mengurangi lapangan kerja bagi warga lokal dan menimbulkan ketidakadilan sosial. Sektor ketenagakerjaan yang dirugikan adalah tenaga kerja tidak langsung di sektor pariwisata seperti persewaan kendaraan dan tenaga kerja ikutan antara lain supplier makanan minuman dan jasa perorangan. Hudman dan Hawkins (dalam Suryawardani, dkk, 2014) menyatakan kebocoran pariwisata dalam beberapa bentuk, seperti mengangkut barang dan jasa untuk konsumsi atau investasi dalam pariwisata, pembayaran untuk operator dan agen perjalanan asing, pembayaran kepada orang asing untuk kontrak manajemen dan royalti, keuntungan yang dibayarkan kepada pemangku kepentingan asing, bunga yang dibayarkan untuk kredit eksternal di sektor pariwisata, biaya pertukaran untuk investasi pariwisata; periklanan dalam pengeluaran pemasaran dan promosi internasional, komisi yang dibayarkan kepada bank asing, kartu kredit dan agen yang digunakan oleh wisatawan, biaya pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pariwisata di luar negeri.

Baca juga:  Fenomena ”Seminar” Kian Eksis

Sementara itu, Data Bank Dunia yang menyebutkan ketimpangan di Indonesia adalah paling buruk nomor 3 di dunia dalam konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Artinya, 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50.2% kekayaan nasional. Posisi ketimpangan tertinggi di Rusia, di peringkat kedua Thailand. Negara dengan ketimpangan tertinggi nomor 4 India, di peringkat kelima Brazil.

World Bank memberi saran supaya Indonesia lebih intensif dan serius menjalankan “AKU Indonesia” (Akhiri Ketimpangan Untuk Indonesia). Salah satu pendorong ketimpangan tersebut adalah pekerjaan yang tidak setara. Pasar tenaga kerja terbagi antara pekerja berketerampilan tinggi yang menerima kenaikan upah, dan sisa angkatan kerja yang tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan ini dan terjebak dalam pekerjaan dengan produktivitas rendah, informal, dan berpenghasilan rendah.

Saat ini pemerintah mengupayakan pariwisata untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat lokal untuk mengurangi ketimpangan. Penegakan aturan bagi turis nakal diperlukan untuk menjaga citra pariwisata Bali yang bermartabat (Kompas, 19/03, hal. 11), serta melindungi hak masyarakat mendapat kesempatan kerja dan usaha dari sektor pariwisata.

IGA Suryawardani dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Udayana, Sabtu (11/3) menyatakan, dalam penelitiannya mengenai tourism leakage di sektor akomodasi di Kuta, Sanur, Nusa Dua, kebocoran tertinggi pada chain hotel bintang 4 dan 5 sebesar 55,3 persen, diikuti pada non-chain hotel bintang 4 dan 5 sebesar 15,7 persen. Sumber kebocoran tertinggi dari impor minuman beralkohol sebesar 64,1 persen, impor produk makanan dan bahan makanan 20,5 persen, tenaga kerja asing pada akomodasi pariwisata Bali. Solusinya adalah, pertama, mengembangkan pertanian, peternakan, perikanan dan industri kerajinan lokal, mengoptimalkan penggunaan produk lokal, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengembangkan industri wine lokal.

Baca juga:  Mengefektifkan PTM Terbatas Melalui "Flipped Classroom"

Kedua, pentingnya law inforcement. Penegakan hukum bagi turis mancanegara yang melanggar sangat penting untuk menjaga kepercayaan sebagian besar turis yang taat terhadap hukum di Indonesia. Peraturan perundangan yang terkait untuk mengantisipasi terjadinya tourism leakage adalah Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal, Pergub Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang tentang Pemasaran Dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan Dan Industri Lokal Bali, Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi Dan/atau Destilasi Khas Bali, dan pembatasan tenaga kerja asing yang diatur melalui UU Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 10 Tahun 2009, Permenaker Nomor PER.02/MEN/III/2008, dan Perpres Nomor 75 Tahun 1995.

Momentum ini menumbuhkan kesadaran bagi seluruh pemangku kepentingan pariwisata Bali dan Indonesia untuk menegakkan aturan, tidak hanya berhenti pada deportasi. Diperlukan langkah-langkah strategis dan kolaboratif untuk membuka ‘ruang gelap’ kemungkinan terjadinya kebocoran lain di berbagai titik dan aktivitas pariwisata yang berpotensi melawan peraturan, hanya mengeksploitasi kekayaan sumber daya pariwisata Indonesia dan tidak memberi manfaat maksimal bagi perekonomian dan masyarakat lokal.

Baca juga:  Dasar International Tourism

Saat ini menjadi momentum untuk mengevaluasi arah pembangunan pariwisata Indonesia untuk konsisten mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat atau community-based tourism (CBT). Praksis atas konsep ini mendekati maksud baik tujuan kepariwisataan yang tertera dalam UU 10/2009 tentang kepariwisataan. Di Pasal 4 dinyatakan, kepariwisataan bertujuan untuk: 1. meningkatkan pertumbuhan ekonomi; 2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat; 3. Menghapus kemiskinan; 4. Mengatasi pengangguran; 5. Melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya; 6. Memajukan kebudayaan; 7. Mengangkat citra bangsa; 8. Memupuk rasa cinta Tanah Air; 9. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan; 10. Mempererat persahabatan antarbangsa.

CBT sederhananya memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat di sekitar objek wisata untuk mengakses lapangan pekerjaan yang laik dan melakukan usaha, baik perdagangan maupun jasa lainnya, memanfaatkan secara positif kedatangan wisatawan. Di tahap pembangunan destinasi wisata, penerapan CBT tampak nyata ketika masyarakat lokal diajak memikirkan dampak atas proyeksi perubahan lingkungan tempat tinggal mereka ketika dikunjungi banyak orang dari dalam dan luar negeri. Dengan demikian, pariwisata Bali akan menjadi contoh secara nasional sebagai destinasi yang memberi keuntungan ekonomi yang sangat berarti bagi masyarakat lokal, meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal, memprioritaskan kelestarian dan keberlanjutan alam serta budaya lokal.

Penulis, Dosen School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *