Foto udara permukiman terdampak gempa di Kampung Barukaso, Desak Sukamulya, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (23/11/2022). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Guna mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan usai gempa Cianjur, Jawa Barat, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan memadukan data dengan PVMBG Kementerian ESDM terkait wilayah rawan gempa dan rawan longsor. “Saat ini BMKG tengah melakukan survei untuk mengidentifikasi wilayah mana saja yang aman terhadap guncangan gempa,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Cianjur, Jawa Barat, dikutip dari Kantor Berita Antara, Rabu (23/11).

Menurutnya, banyaknya korban meninggal dan signifikannya kerusakan yang terjadi pada saat gempa tektonik bermagnitudo 5,6 selain akibat gempa dangkal. Selain itu, juga akibat struktur bangunan di wilayah terdampak tidak memenuhi standar tahan gempa.

Baca juga:  Ada 16 Klaster COVID-19 di Surabaya, Ini Rinciannya

“Mayoritas bangunan yang terdampak karena dibangun tanpa mengindahkan struktur aman gempa yang menggunakan besi tulangan dengan semen standar. Akibatnya, bangunan tersebut tidak mampu menahan guncangan gempa,” paparnya.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan setelah gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menggunakan struktur tahan gempa demi menekan jumlah korban. “Perlu dipahami bahwa banyaknya korban jiwa dan luka-luka dalam gempa bumi Cianjur bukan diakibatkan guncangan gempa bumi, melainkan karena tertimpa bangunan yang tidak sesuai dengan struktur tahan gempa bumi,” tuturnya.

Baca juga:  Tiga Hari Berturut Gempa Guncang Karangasem, Kali Ini di Darat

Khusus untuk pemukiman warga di daerah lereng-lereng dan perbukitan, kata Dwikorita, maka opsi relokasi harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat, mengingat gempa di Cianjur merupakan gempa yang berulang setiap 20 tahunan dan kemungkinan dapat terjadi kembali.

Ia menambahkan, topografi di wilayah lereng dan perbukitan tersebut juga tidak stabil dengan kondisi tanah yang rapuh atau lunak dan sering jenuh air akibat curah hujan yang cukup tinggi.

Secara terpisah, Pakar Tsunami Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko mengatakan mitigasi bencana dengan membangun bangunan tahan gempa penting dalam melakukan renovasi dan rehabilitasi setelah gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Widjo menuturkan gempa bumi dengan magnitudo 5,6 pada siklus yang lebih pendek akan lebih sering terjadi dibanding dengan gempa bumi megathrust dengan magnitudo di atas 7-9 di zona subduksi.

Baca juga:  BMKG Keluarkan Peringatan Dini Tsunami, Benarkah?

Oleh karena itu, aspek ketahanan gempa perlu diperhatikan dalam pembangunan infrastruktur dan bangunan lain untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak kerusakan akibat gempa di masa mendatang.(kmb/Balipost)

BAGIKAN