Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Kesan pertama itu selalu dilihat dan didapat dari tampilan depan, sebagai wajah yang biasanya merepresentasikan bagian (isi) dalam. Jika itu sewibuah rumah, sekaligus menjadi cermin bagaimana orang dalam menata-kelola kawasan lingkungan.

Di Bali konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala menjadi rujukan penting mendesain struktur lingkungan yang disebut Palemahan sebagai suatu Mandala (kawasan/wilayah). Dimulai dari Utama Mandala sebagai kawasan Parhyangan (hubungan religis manusia dengan Tuhan), lalu Madya Mandala sebagai wilayah Pawongan (hubungan sinergis manusia dengan manusia), dan Nista Mandala sebagai bagian yang memang disebut Palemahan (hubungan harmonis manusia dengan alam lingkungan).

Unsur vital setiap Palemahan adalah tanah (pertiwi) yang kemudian disebut juga natah. Ada bagian natah Sanggah/Mrajan, tempat memuja Ida Bhatara-Bhatari leluhur, natah umah (untuk hunian), dan yang tak kalah penting adalah natah (wilayah) konservasi lingkungan yang lazim disebut “Teba” (adanya di belakang rumah) dan “Telajakan”, bagian terdepan karang-paumahan tradisional Bali yang dapat mendukung kualitas lingkungan alam sekitar. Telajakan adalah elemen ruang terbuka hijau sebagai garis batas/pemisah antara pagar tradisional perbatasan (panyengker) dan drainase/got (jelinjingan) di pinggir jalan.

Baca juga:  Memenuhi Hak Perlindungan Data Pribadi

Saat ini keberadaan Telajakan tidak hanya hadir di depan rumah dan perwajahan wilayah suatu desa, pada bangunan umum, kantor pemerintahan pun seakan berlomba menampilkan Telajakannya agar tampak lebih indah. Khusus Telajakan rumah tradisional Bali, sejatinya memiliki beberapa fungsi ; 1) arsitektur, menjadi bagian pemanis wajah/tampilan rumah; 2) ekologi, sebagai lahan dimana beraneka jenis tumbuhan/pepohonan di tanam, dan atau hewan dipelihara (dipajang), seperti ayam kurungan; 3) sosial, sebagai tempat pertama terjadinya interaksi dan komunikasi antar personal 4) kultural, sebagai ruang aktivitas dan kreativitas semisal saat membuat ogoh-ogoh, wadah pangabenan, dll; 5) ritual, acapkali dijadikan tempat membuat sarana pelengkap upacara yadnya; 5) magi, diyakini sebagai “penangkal” mencegah masuknya unsur-unsur gaib (mistik/klenik), dan yang belakangan makin ngetrend adalah 6) ekonomi,
didayagunakan sebagai ruang bebas mengembangkan usaha mencari tambahan nafkah, baik dikelola sendiri atau disewakontrakkan.

Akibat begitu masifnya pemungsian Telajakan secara ekonomi, terutama yang dilakoni kaum migran (pendatang
luar), berimbas pada perwajahan hunian rumah dan kawasan/wilayah di seantero Bali berubah drastis. Telajakan yang pada awalnya tampak estetis karena
dikonstruksi atas dasar landasan etis sesuai konsepsi filosofis arsitektur bangunan tradisional Bali, kini tak dapat dimungkiri tampil bak anak gadis yang sudah habis dibis-bis — pasretset pesranting alias compang camping, bikin hati merinding tak bergeming.

Baca juga:  Nomaden Digital dan Industri Pariwisata

Lihat saja, sepanjang mata memandang di manapun melintasi jalan-jalan, dari seputaran kota hingga ke pelosok desa di wilayah Bali, tampak wajah telajakan dominan dikuasai tempat-tempat usaha, baik dalam bentuk rombong bakso, gerobak soto, sate, lalapan pecel lele,
kotak seng (spandex) kuliner, warung sembako, kios/toko kecil, pertamini, penjual jasa, dll.

Hebatnya, para pedagang pendatang itu dengan fanatik (mungkin sambil tepuk dada) melabel produk jualannya lewat spanduk/poster dengan identitas khas (daerah dan agama). Sementara itu (maaf) gelar “BA” telanjur dilekatkan pada anak Bali yang rada Belog Ajum dengan sukacita mengeruk dompet (uang) lalu berbelanja pada pedagang luar, tanpa bisa dicegah. Kecuali acapkali dicegah ketika hendak mabelanja dit empat dagangan nyama Bali.

Baca juga:  Jejak Bung Karno dan Ikon Destinasi

Alasannya unik bin klasik dan berbau sirik plus magik : iri hati jika usaha semeton Bali laris (nyugihang), dan takut terkena pangiwa (desti, teluh, tranjana), meskipun sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, pedagang pendatang tak kalah seru bin serem menggunakan ilmu semacam itu (pelet).

Disadari ataupun tidak, gaya hidup konsumtif anak Bali tersebut memang turut membesarkan sekaligus menguatkan eksistensi kaum migran di gumi Bali yang memang mesambeh merta – gampang meraup rezeki. Sampai kemudian muncul kalimat satir (sindiran) : pendatang menjual bakso mampu membeli tanah, sedangkan anak Bali menjual tanah untuk membeli
bakso.

Sebuah ironi, meski belum dapat disebut tragedi, atau ini hanya sebuah komedi. Lantaran usaha ekonomi wong Bali di Telajakan, berdampak “telejekin”, menginjak-injak keluhuran nilai konsepsinya, bahkan kemudian manfaatnya pun hanya “telah-jakan”: habis dimasak untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *