Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Kini hampir setiap banjar atau desa di Bali memiliki Gong Kebyar. Jika dibandingkan dengan jenis gamelan lainnya, barungan ini berperan luas dalam kehidupan keagamaan dan dinamika kultural masyarakatnya. Gong Kebyar hadir fleksibel sebagai wadah ekspresi musikal yang akrab, bukan saja di kalangan kaum pria namun juga digauli oleh para perempuan Bali.

Keberadaan salah satu kesenian Bali ini berembrio pada awal abad ke-20. Ketika penjajah Belanda mencengkeram  Bali—Perang Jagaraga (1846), Puputan Kusamba (1849), Puputan Badung (1906), hingga Puputan  Klungkung (1908)—di belahan Bali Utara turun  embun berkemilau membasuh jagat, menyemai sekuncup bunga yang beriak mekar, dimana bulir putik-putiknya menebar serta bertumbuh ke penjuru Pulau Dewata. Itulah Gong Kebyar.

Diduga, gamelan yang berkarakter lugas, energik dan dinamis ini sudah memasyarakat di sejumlah desa Dangin Enjung dan Dauh Enjung, Buleleng, pada tahun 1915. Jika demikian, sudah pasti sebelumnya terjadi suatu lika-liku  proses fisik dan estetik padanya yang konon ditrasformasikan dari gamelan kuno Gong Gede. Sebab seni sebagai ekspresi budaya bukan mengentas instan. Setidaknya ada rentang waktu sedikitnya 10 tahun proses adaptasi dan internalisasi menuju penerimaan masyarakat. Tentang bagaimana vibrasi kegirangan penerimaan masyarakat, ketika Gong Kebyar bereuforia pasca tahun 1915 yang ditandai dengan riuhnya pentas mebarung yang kian gemuruh jelang kemerdekaan pada 1945, diinterpretasikan sebagai gelora counter culture, sebuah ungkapan penentangan budaya (penjajah asing/Belanda) melalui lorong keindahan seni dalam representasi kesenian Gong Kebyar. Telah dimaklumi, merebaknya genre seni tari yang berorientasi pada estetika dari gamelan ini, kemudian mengkristal sebagai pertunjukan seni kebyar.

Baca juga:  Usai Nyepi, Satu Set Reong Gong Kebyar Raib

Seni adalah simbol masyarakat. Bila dicermati dari teksnya serta dimaknai dari konteksnya, seni, termasuk Gong Kebyar, menyemburkan suatu nilai yang beraksentuasi pada kebebasan kreatif. Mencuat adanya rona kemerdekaan berkesenian nan lapang. Bak sebuah masyarakat, salah satu ciri konsepsi artistik gamelan ini adalah menghargai kontribusi setiap individu. Ruang penonjolan permainan setiap instrumen menjadi tata garap musikal yang khusus dilecutkan dalam komposisi atau tabuh Gong Kebyar, terutama dalam sajian konser instrumental. Permainan tunggal atau berpasangan kendang yang atraktif, instrumen trompong yang jelimet meliuk melodis, bahkan suara cengceng yang menyela dalam ruang jeda, hanya dapat disimak sejak semaraknya perkembangan Gong Kebyar.

Gong Kebyar adalah letupan swara mahardika anugrah Dewa Iswara. Secara mitologis dalam kepercayaan agama Hindu di tengah masyarakat Bali, gamelan sebagai seni bunyi-bunyian yang eksistensinya diupacarai setiap Tumpek Krulut (pemujaan terhadap Dewa Iswara), telah lulut asih pada rekahan budi insani masyarakatnya, seperti umumnya fungsi seni di tengah peradaban dunia.

Dalam Gong Kebyar, lenguhan kemerdekaan itu telah menggeliat pada era pra-kemerdekaan, baik dalam konteks psiko-politik maupun dalam konteks psiko-kultural. Setelah kemerdekaan, ideologi seni yang diusung dalam Gong Kebyar kian gemilang. Kompetisi Gong Kebyar—termasuk puspa ragam tarian kebyar—membuncah girang dalam Utsawa Merdangga (1960-an), Festival/Lomba (1970-2000-an), dan kini dalam bingkai Parade (sejak tahun 2008), melambungkan dirinya semakin moncer. Tengoklah gempita pagelaran Gong Kebyar di arena Pesta Kesenian Bali (PKB), sungguh tak pernah lekang dari antusiasme ribuan penonton.

Baca juga:  Menghadirkan Pemimpin Bali yang Hebat Melalui Pilkada

Ideologi kemerdekaan Gong Kebyar mewabah pada kesenian Bali yang lainnya. Latah mengadopsi konsep estetik Gong Kebyar pada beragam gamelan seperti terdeteksi dalam Angklung, Rindik, Semara Pagulingan, Gender Wayang dan seterusnya di tengah masyarakat pegiat karawitan disebut dengan “ngebyar” atau ala Gong Kebyar. Pengaruh Gong Kebyar tersebut, secara positif dapat dimaknai bahwa estetika yang ditawarkannya bersumbangsih memperkaya dan menyulut kegairahan.

Walau Gong Kebyar mendominasi gamelan Bali lainnya, ia tidak menjadi jumawa dalam menebar ideologi dan konsepsi kemerdekaan lontaran estetiknya. Sebaliknya, Gong Kebyar berlaku toleran, menerima dan menghargai butir-butir keindahan barungan gamelan Bali yang mendahuluinya. Kreativitas tabuh-tabuh Gong Kebyar tak sungkan-sungkan meminjam kearifan musikal orkestra tua, misalnya, gegenderan dari Gender Wayang atau gegambangan dari gamelan Gambang.

Gebyar Gong Kebyar telah mendunia. Gamelan yang juga dapat dijumpai di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya serta juga di sejumlah komunitas transmigran asal Bali di penjuru Nusantara, kini dapat dipergoki di sejumlah negara di benua Amerika, Eropa, Australia, dan Asia—terbanyak di Negeri Sakura.

Baca juga:  Gong Kebyar Swara Mahardika Bali

Penerimaan terhadap Gong Kebyar di mancanegara ini bisa jadi karena keuniversalan nilai estetika yang dipancarkannnya. Denyut kemerdekaan ideologi estetiknya berkontribusi mengantarkannya menyebar melampaui lintas budaya. Selain sebagai wadah kreativitas seni–dengan intensitas disuntukinya Gong Kebyar yang dikaji secara ilmiah oleh para peneliti asing– menunjukkan  dirinya sebagai salah satu ekspresi musik dunia yang penting.

Masyarakat Bali pada umumnya, khususnya kalangan pegiat seni pertunjukan, telah lebih dari satu abad berinteraksi dengan ekspresi kreativitas kemerdekaan Gong Kebyar. Secara psiko-kultural, roh kreativitas kemerdekaan Gong Kebyar sangat signifikan pengaruhnya pada perkembangan kesenian Bali secara umum yang berterima positif di tengah masyarakat. Respon yang baik masyarakat Bali ini  mencerminkan subjetifitas kolektif masyarakat seni yang menjunjung  nilai kemerdekaan dalam arti umum, makna spesifik (tidak terjajah), dan termasuk kebebasan berolah seni. Gong Kebyar, suara kemerdekaan Bali, telah unjuk kiprah mengibarkan prestise peradaban luhur bangsa di mata dunia dan berhasil menggelorakan kebanggaan pada seni budaya sendiri.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN