Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Setiap tanggal 29 September dirayakan sebagai hari sarjana. Di Indonesia, peran vital kaum muda berhimpitan dengan problematika kaum muda itu sendiri dalam melepaskan diri dari ancaman pengangguran dan kemiskinan. Di sinilah pentingnya semangat dan praktik entrepreneurship untuk semakin dibumikan dan diterapkan di kalangan kaum muda maupun pihak-pihak yang terkait erat dengannya, khususnya institusi pendidikan tinggi.

Kita semakin menyadari bahwa kewirausahaan semakin mendesak di negeri kita pascaketerpurukan perekonomian Indonesia pada akhir tahun 90’an yang ditandai hutang dan bunga hutang yang semakin menumpuk, aset-aset strategis negara banyak yang berpindah tangan ke swasta asing, kekayaan alam semakin habis terkuras, konsesi-konsesi perekonomian sudah mulai didominasi oleh asing.

Selain alasan-alasan di atas, banyak pemikiran yang mendukung perlunya pembangunan kewirausahaan di antaranya, pertama, kewirausahaan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru (Schumpeter, 1971). Kedua, kewirausahaan banyak melahirkan kreativitas dan inovasi baru dalam melakukan usaha maupun teknologi (Michellm, 1989; Porter, 1990). Ketiga, kewirausahaan sering kali meningkatkan kualitas kompetisi yang berujung pada nilai tambah bagi masyarakat (Birley, 1986; Lumpkin & Dess, 1996). Keempat adalah menurunkan biaya dan waktu yang timbul akibat ketidakpastian (McGrath, 1992). Dan yang kelima, kesejahteraan pada dasarnya adalah sebuah created wealth, bukan inherited wealth (Porter, 2004).

Baca juga:  Parpol dan Rakyat Miskin

Namun pembangunan kewirausahaan di Indonesia tidaklah mudah. Berdasarkan penelitian dari Entrepreneurship Working Group dari APEC (2004) terlihat bahwa hanya sedikit wirausaha yang berhasil menjadi pengusaha besar dalam siklus pola kewirausahaan. Fenomena ini juga banyak terjadi di Indonesia. Dalam buku Wirausaha Muda Mandiri (Kasali, 2010) terpampang beberapa contoh keberhasilan produk pendidikan tinggi (sarjana) dalam mengemban amanah menciptakan lapangan pekerjaan.

Betul adanya, tiada sesuatu yang instan. Perjuangan setiap profil wirausaha yang ada di buku ini menunjukkan proses jatuh bangun, kesulitan dan tantangan yang cukup pelik, yang dari semua itu semakin membentuk ketangguhan dan mentalitas seorang entrepreneur yang saat ini semakin dibutuhkan oleh negeri ini.

Baca juga:  Merdeka Belajar, Pembelajaran Berbasis PR

Rendahnya entrepreneur dari kalangan sarjana (fresh graduate) juga disebabkan ketidakmampuan mengatasi tantangan dan kesulitan yang ada. Pandangan tentang ketatnya persaingan pasar, asumsi kalau pasar penuh distorsi dan merasa diri tidak mampu menghadapinya, hingga bayangan tentang persoalan-persoalan teknis yang melelahkan pikiran dan tenaga, membuang jauh-jauh profesi sebagai pengusaha (Kasali, 2010).

Demikian pula, lama terjadi ketidaksesuaian performa pendidikan di perguruan tinggi kita, ditambah dengan performa dosen yang sama tidak relevannya dengan tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan jaman sekarang, menjadikan kewirausahaan di negeri kita kurang diminati. Selain rekaan-rekaan itu, pendidikan kewirausahaan kita memiliki banyak kelemahan lainnya.

Beberapa kelemahan yang mendasar adalah kurangnya minat wirausaha sukses untuk mau mengajar, kurikulum kewirausahaan kurang menarik, mental pengajar formal yang masih birokrat, dan masih minimnya pusat-pusat pelatihan kewirausahaan baik secara formal maupun informal (ILO, 2003). Lalu, apakah Perguruan Tinggi satu-satunya pihak yang menyebabkannya? Ternyata tidak. Pendidikan dalam keluarga sebagai institusi paling dasar dalam kehidupan berbangsa turut menanamkan nilai-nilai anti-kewirausahaan. Kesuksesan masyarakat Tionghoa dalam berwirausaha bukan hanya fenomena di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura.

Baca juga:  Sarjana Seni Pesan Ganja dari Sumatera

Dampak ketika keluarga dan Pendidikan Tinggi tidak pro-kewirausahaan, selepas berkuliah sebagian besar sarjana berebut lapangan pekerjaan. Minimnya penyediaan (supply) lapangan pekerjaan diperebutkan oleh semakin besarnya jumlah pencari kerja (demand) yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan tinggi. Realitas itu adalah ironi tersendiri di negeri kita.

Sarjana yang sedianya adalah harapan masyarakat untuk menciptakan perubahan-perubahan, terutama memberantas kemiskinan dalam kapasitasnya membuka lapangan pekerjaan, justru memperpanjang rantai kemiskinan itu dengan kemungkinan yang terburuk juga menjadi pengangguran (terdidik). Sampai di sini kita melihat bahwa pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi untuk membangun ketahanan ekonomi yang lebih berjangka panjang dan berkelanjutan. Mari kita maknai hari sarjana dengan mendampingi lahirnya semakin banyak entrepreneur muda Indonesia.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Universitas Ciputra

BAGIKAN