Kepala Disdikpora Badung, I Gusti Made Dwipayana. (BP/Par)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana yang dirancang Pemerintah Kabupaten Badung menghadapi kendala regulasi dalam implementasinya.

Hal ini terungkap dalam Rapat Kerja Komisi IV DPRD Badung bersama sejumlah kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait pada Selasa (27/5).

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Badung, AA Ngurah Raka Sukaeling menjelaskan bahwa syarat penerima bantuan yang masuk dalam kategori Keluarga Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan (KPM PKH) sangat sulit dipenuhi oleh warga Badung.

“Kriteria yang ditetapkan oleh Kemensos RI sangat teknis dan detail, mencakup 14 indikator seperti rumah dengan lantai tanah, penerangan non-listrik, konsumsi makanan terbatas, dan tidak memiliki tabungan. Di Badung, hampir semua keluarga, walaupun tergolong miskin, sudah memiliki rumah dengan berlantai dan akses listrik minimal 900 watt,” ujarnya.

Baca juga:  Regulasi Badan Pengelola Pariwisata BUGG Dipertanyakan

Senada dengan, Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Badung, I Gusti Made Dwipayana, menyebutkan bahwa banyak calon penerima beasiswa gugur karena tidak memenuhi kriteria administratif, meskipun secara ekonomi mereka layak menerima bantuan.

Ketua Komisi IV DPRD Badung, I Nyoman Graha Wicaksana, menekankan bahwa program ini sesungguhnya sudah berjalan, namun terbentur pada ketentuan yang mengharuskan verifikasi data berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kemensos. Padahal, banyak keluarga di Badung yang secara kasat mata tergolong miskin, namun tidak tercatat dalam DTKS karena tidak memenuhi indikator formal yang ditetapkan.

Baca juga:  Tingkatkan Literasi, Pemkab Jembrana Bangun Perpustakaan Milenial

“Ini menyulitkan kami dalam menyalurkan bantuan. Padahal tujuan utama program ini adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Badung. Jika pendidikan tinggi bisa diakses masyarakat miskin, mereka bisa ikut mendorong pembangunan daerah, baik di sektor pertanian, maritim, maupun teknologi,” jelasnya.

Komisi IV pun mendorong adanya konsultasi dengan Pemerintah Provinsi Bali atau bahkan langsung ke Kementerian Sosial untuk membuka ruang regulasi yang lebih fleksibel. Mereka juga mengusulkan agar bantuan tidak hanya mengacu pada DTKS, namun juga mempertimbangkan kondisi riil masyarakat yang diverifikasi oleh aparat desa atau kelurahan.

Baca juga:  Tahun 2022, Gubernur Koster Percepat dan Mantapkan Program Prioritas dan Pendukung

“Jika terus terpaku pada standar pusat, kita khawatir banyak anak dari keluarga tak mampu yang kehilangan kesempatan kuliah. Padahal pendidikan adalah kunci pengentasan kemiskinan jangka panjang,” tambahnya.

Rencana tindak lanjut berupa studi komparatif ke daerah lain, seperti Jembrana yang telah berhasil menyalurkan bantuan langsung ke mahasiswa tanpa sepenuhnya bergantung pada DTKS, menjadi salah satu opsi yang sedang dikaji. (Parwata/Balipost)

BAGIKAN