Rumawan Salain. (BP/dok)

Oleh Putu Rumawan Salain

Pemanasan global bukan hanya wacana, namun sudah merasuk di setiap langkah kehidupan manusia dan usia alam semesta. Manusia sebagai insan yang paling adaptif berupaya untuk hidup berdampingan dengan berbagai akibatnya.

Arsitektur adalah karya cipta karsa, dan rasa manusia dalam berhadapan dengan pemanasan global. Arsitektur Tradisional Bali dipandang memiliki ketangguhan “resilience” berhadapan dengan Pemanasan Global melalui tata letak, bahan, struktur dan konstruksi dan perbandingan luas lahan terbangun dan tidak terbangun!

Arsitektur dalam pandangan umum dapat dinyatakan sebagai wadah aktivitas kehidupan dan penghidupan yang memenuhi syarat-syarat: kekuatan, fungsional, dan keindahan. Arsitektur Tradisional Bali selain memenuhi syarat-syarat tersebut di atas juga sangat memperhatikan dan mempertimbangkan faktor harmoni di antara pengguna dengan alam, sesama, dan Tuhan.

Pemanasan global yang berlangsung intinya ada pada peningkatan jumlah penduduk di muka bumi yang berakibat semakin meningkatnya kebutuhan dan keinginan manusia dalam menjamin dan memudahkan kehidupan dan penghidupannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi secara cepat dapat merespons berbagai keperluan tersebut termasuk dalam hal yang berurusan dengan material sampai
dengan konstruksi arsitekturnya.

Baca juga:  Transportasi Daring, Menunggu Regulasi Bijak

Bangunan tinggi dengan pola masa bangunan tertentu dapat meningkatkan panas lingkungan karena sempitnya lahan terbuka dan sulitnya aliran angin, termasuk di dalamnya juga peresapan air. Kesejukan dapat diperoleh dengan meningkatkan luas ruang terbuka, taman kota sampai dengan hutan kota dan taman air di pusat-pusat kepadatan.

Meningkatnya panas lingkungan menyeret para arsitek untuk melengkapi karya arsitekturalnya dengan teknik penghawaan alamai termasuk penyinarannya. Penggunaan Air Conditioner (AC) memang berhasil mendinginkan ruang dalam, namun akibat dari mesinnya berdampak pada peningkatan suhu sekitar dan penggunaan jenis freon yang tidak tepat berdampak pada tipisnya “rusaknya” lapisan ozon yang selanjutnya berakibat pada efek rumah kaca sehingga bumi semakin panas.

Bagaimana dengan Pulau Bali dimana arsitektur tradisional Bali tumbuh dan berkembang, khususnya di bidang rumah tinggal? Dari sumber Pusat Info Perubahan Iklim menyebutkan bahwa kenaikan suhu rata-rata pertahun sejak 1950 tertulis dari 23 hingga 26 derajat Celcius. Peningkatan suhu tersebut selain dipengaruhi oleh pemanasan dunia juga diakibatkan oleh berbagai ragam perubahan di Bali seperti peningkatan: jumlah penduduk, jumlah wisatawan,
jumlah kendaraan/motor pribadi/umum yang bergerak setiap hari, luas hutan yang belum memenuhi standar, peralihan fungsi lahan hingga penataan ruang hingga arsitekturnya.

Baca juga:  Sisi Lain Terorisme di Selandia Baru

Bukankah Kahyangan tiga merupakan representasi wilayah ruang “deliniasi” suatu permukiman tradisi? Aturan jumlah penduduk di setiap banjar diatur dalam penataan perumahannya dengan besaran luas pekarangan yang berada sekitar 600 sampai dengan 800 meter persegi.

Dengan luas lahan tersebut penataan masa bangunan menjadi sangat longgar sesuai dengan polanya dalam konsep natah yang umum disebut dengan sanga mandala. Natah berada pada tengah-tengah mandala, sedangkan di sekitar natah adalah letak dari bangunan dengan nama sesuai dengan orientasi mata angin. Misalnya Bale Daja, Bale Dangin, Bale Delod, Bale Dauh, lemudia ada Paon, Jineng, dan areal tempat suci keluarga “sanggah kemulan”.

Bahkan tidak jarang diantaranya yang dilengkapi dengan ruang terbuka sebagai areal kebun “taman” yang disebut dengan tebe. Dengan pola penataan masa bangunannya yang organis dan dinamis maka angin akan leluasa mengalir diantara celah-celah bangunan maupun di bawah konstrusi atap.

Baca juga:  Bali dan Ledakan Covid-19

Bahan atap dari alang-alang dengan ketebalannya sangat mereduksi panas ke dalam ruangan. Termasuk di dalamnya adalah persoalan ketinggian bangunan yang dapat menghambat aliran angin. Konsep-konsep harmoni antara bhuana alit dengan bhuwana agung, manik ring cecupu, tat twam asi, tri angga yang dibingkai dengan filosofi Tri Hita Karana dan nilai Budaya Bali bermuara pada tujuan keberlanjutan kehidupan alam semesta dengan segala isinya, termasuk Arsitektur Tradisional Bali.

Sejatinya Arsitektur Tradisioanl Bali amat tangguh menghadapi Pemanasan Global, hanya karena perubahan zaman banyak yang mengacuhkannya. Kini saatnya kembali merefleksikan kearifan adi luhung para leluhur dengan modifikasi seperlunya agar karya
Arsitektur Tradsional Bali menjadi tuan sekaligus
menjadi identitas yang berkelanjutan.

Penulis, Guru Besar Arsitektur, Fakultas Teknik – Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *