Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Nengah Sujandra

Beberapa waktu lalu, di Singaraja satu keluarga ditemukan tewas dan diduga melakukan bunuh diri bersama. Empat anggota keluarga itu diperkirakan meminum obat pembunuh hama. Menurut berita yang berkembang, keluarga tersebut sakit-sakitan sehingga seolah putus asa dengan dengan keadaan yang dihadapi.

Fenomena ini sungguh memprihatinkan bagi masyarakat di Bali karena kecenderungan seperti ini cukup banyak terjadi, tidak saja di Singaraja tetapi juga di luar kabupaten itu. Kejadian bunuh diri hampir terjadi di seluruh kabupaten di Bali.

Menjadi kontradiktif kalau kemudian dibandingkan dengan kondisi perekonomian Bali, yang pertumbuhannya 6 persen, lebih besar dari pertumbuhan nasional. Dan lebih dari itu, dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, perekonomian Bali lebih hidup karena di dorong oleh sector pariwisata.

Dari sisi agama-budaya, masyarakat di Bali juga kental dengan kehidupan keagamaan dan memiliki falsafah tinggi, yang salah satunya phala karma. Bunuh diri justru dipandangg bertentangan dengan norma-norma yang ada, dan pada masyarakat tertentu, kuburan untuk korban seperti ini, dipisahkan. Dengan demikian, kejadian seperti ini harus mendapatkan perhatianh khuus dari pemerintah daerah.

Secara psikologis, dapat dikatakan peristiwa itu terjadi sebagai akibat dari tekanan yang tidak dapat dikendalikan oleh pihak yang bersangkutan. Bermacam-macam tekanan yang ada, mulai dari sosial, kesehatan, ekonomi bahkan budaya.

Dalam beberapa kasus yang terjadi di Bali, sakit disebutkan sebagai tekanan yang tidak dapat dihindarkan oleh pelaku. Karena itulah korban dari peristiwa ini kebanyakan dari mereka yang sudah berusia lanjut. Namun demikian, yang kemudian harus mendapat perhatian disini, adalah cara mereka menanggulangi tekanan tersebut.

Baca juga:  Minimalkan Perbedaan Pemahaman Perkawinan Campur

Kalaupun kemudian sakit yang menjadi alasan untuk melakukan tindakan fatal tersebut, dalam kondisi Bali yang telah mempunyai puskesmas dan puskesmas pembantu yang jauh sampai ke pelosok desa, seharusnya persoalan penyakit ini dapat diatasi secara lebih awal. Artinya tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas mesti bergerak dan memberikan penjelasan terhadap penyakit tersebut.

Minimal jika tidak mampu mengobati, memberikan pendampingan atau member nasihat-nasihat yang diperlukan. Termasuk juga soal prediksi ke depan tentang bagaimana penyakit yang diderita dan solusi pembiayaan terhadap sakit yang diderita. Penasihatan terhadap penderita sakit seperti ini, paling ampuh diberikan oleh tenaga dan ahli kesehatan.

Orang yang sedang mengatasi masalah tekanan seperi itu, yang diperlukan adalah harapan. Semakin tinggi dapat memberikan harapan kepada mereka, maka semakin tinggi pula harapan untuk tidak berbuat fatal. Dalam hal sakit yang mengandung keputusasaan seperti ini, hanya petugas kesehatan, terutama dokter yang mampu mengatasi.

Tentu juga harus disertakan adanya ahli psikologi. Akan menjadi pertimbangan yang baik misalnya, apabila puskesmas yang ada di pelosok desa dilengkapi dengan ahli psikologi. Pemerintah daerah semestinya memberikan perhatian seperti ini. Pemerintah daerah, tidak saja mesti memberikan bantuan meringankan pengobatan, tetapi juga memberikan bantuan psikologi kepada masyarakat yang tertekan.

Upaya seperti ini tidak boleh dipolitisir, apalagai dimanfaatkan untuk dukungan politik. Sangatlah konyol dan berdosa apabila soal kesehatana di bawa menuju ranah politik. Dengan demikian banyaknya kasus bunuh diri di Bali, sudah seharusnya puskesmas dan puskesmas pembantu dilengkapi dengan ahli psikologi.

Baca juga:  Nyepi, Warga Ditemukan Tewas di Bangunan Sekepat Pura Paibon

Dengan begitu maraknya angka bunuh diri di Bali, yang menjadi pertanyaan juga adalah perkembangan hubungan sosial serta relasi sosial intra dan antar keluarga. Secara tradisional, hubungan kekerabatan di Bali sangat kental dengan kegotongroyongan. Akan tetapi apakah kemudian jiwa kegotongroyongan ini hanya berlaku untuk hal-hal tertentu saja, misalnya untuk upacara ritual yang digelar. Atau seperti di masa lalu, pertolongan untuk membangun rumah atau menanam padi di sawah (ngajakang).

Jika cara pandang masyarakat bahwa jiwa kegotongroyongan tersebut hanya diberlakukan untuk hal-hal yang diatas, maka itu adalah pandangan yang keliru. Ada dua pesan utama yang diperlihatkan oleh jiwa gotong-royong atau kebersamaan di Bali.

Pertama adalah mengatasi persoalan secara bersama-sama atas kepemilikan bersama, dan yang kedua adalah membantu mengatasi tekanan yang dihadapi seseorang atau keluarga. Dalam hal mengatasi persoalan bersama, itu bisa dilihat ketika melakukan kerja ngayah di pura yang memerlukan banyak perlengkapan upakara.

Banyaknya keperluan upakara itulah yang membuat masyarakat secara bersama-sama mengerjakannya agar tidak menjadi beban. Dalam hal mengatasi tekanan perseorangan atau keluarga, dapat dilihat pada cara pembangunan rumah atau menanam padi di sawah (ngajakan). Akan tetapi di Bali dengan kehidupan sosialnya, hampir tidak ditemukan tekanan perseorangan karena seseorang itu dimiliki oleh keluarga, baik keluarga batih mapun keluarga yang sudah diperluas.

Dengan konteks demikian, maka kegotongroyongan dan kehidupan bersama itu sesungguhnya merupakan solusi untuk menghadapi masalah atau tekanan, baik yang dialami secara bersama-sama, individual maupun keluarga. Sakit adalah sebuah tekanan yang bahkan jauh lebih hebat dibandingkan dengan tekanan untuk membangun rumah, membikin sarana upacara atau ngajakan di sawah.

Baca juga:  Dari Pembunuh Kabur ke Bali Gegara Ini hingga Gubernur Koster Gelar Lomba Ogoh-Ogoh

Karena itu sangat wajar juga bantuan kepada orang yang menderita sakit itu dimodelkan seperti bantuan kegotongroyongan. Ini barangkali yang terlepas dari cara pandang orang Bali dalam memandang kehidupan sosial. Di jaman kontemporer ini bantuan kegotongroyongan itu adalah pendanaan.

Rumah sakit dan biaya pengobatan sekarang sungguh tinggi dan sering mengagetkan. Meski ratusan orang anggota keluarga ikut menunggu di rumah sakit, akan tetapi apabila kemudian pendanaan itu tidak didapatkan, maka proses kesembuhan akan memerlukan waktu lama, bahkan mungkin tidak dapat dicapai.

Ada hal lain yang mesti diperhatikan juga. Jangan-jangan angka bunuh diri ini merupakan akibat tersembunyi dari perkembangan pariwisata di Bali. Inti pariwisata adalah bisnis global yang kapitalis, dan kapitalis itu individual. Secara tidak sadar, orang Bali sudah terlalu individual sehingga melupakan perhatian terhadap saudara dan kerabatnya yang berada dalam tekanan.

Ditambah dengan begitu banyaknya ritual yang ada baik di keluarga maupun di masyarakat, maka orang Bali sudah kesulitan membagi waktu untuk memperhatikan kerabat atau saudaranya yang sedang tertekan. Mereka yang tertekan ini akhirnya merasa terasing, teralienasi, tersingkirkan, sehingga mengambil jalan pintas.

Menjadi pelajaran besar bagi masyarakat Bali dengan demikian banyaknya angka bunuh diri ini. Semua pihak harus bergerak. Kelompok agamawan harus pintar menafsir upakara agar dapat disederhanakan, jangan berbalik memperumit upacara agama.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *