Krama Desa Adat Gunung Luwih sedang melakukan rapat. (BP/Istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Adat Gunung Luwih di Kecamatan Sukasada terkenal dengan potensi pertanian perkebunan. Komoditasnya adalah cengkeh dan sebagian lagi kopi. Sejak desa adat ini terbentuk, mayoritas pekerjaan setiap krama di desa adat ini adalah sebagai petani. Di tengah upaya mengelola potensi bidang perkebunan itu, Krama Desa Adat Gunung Luwih memiliki tanggung jawab sebagai pangempon di Pura Kahyangan Tiga dan Kahyangan Desa.

Tanggung jawab pada baga parhyangan ini tergolong berat karena cukup banyak parhyangan yang diwariskan oleh krama desa adat itu sendiri. Beruntung, dengan kebijakan Gubernur Bali, Wayan Koster, yang mengucurkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) kepada desa adat di Bali, sehingga beban tanggung jawab Krama Desa Adat Gunung Luwih sendiri menjadi ringan.

Kelian Desa Adat Gunung Luwih, Komang Pasek Arjana Senin (15/8) kemarin mengatakan, desa adat yang sekarang dipimpinnya itu terbagi menjadi delapan banjar adat yaitu, Gitgit, Pererenan Bunut, Sila Kerthi, Ampanan, Tiing Liplip, Wira Bhuana, Munduk Jaka, Munduk Tabuan, dan Banjar Adat Yeh Muncarat. Sedangkan, jumlah krama adat yang tercatat smapai sekarang mencapai 800 kepala keluarga (KK).

Baca juga:  Desa Adat Abangsongan Lestarikan Tari Gandrung Pingit

Setiap krama desa adat ini memiliki tanggung jawab penuh sebagai pangempon Pura Kayangan Tiga meliputi, Pura Desa, Puseh, dan Pura Dalem. Selain itu, krama juga menjadi pangempon Pura Kayangan Desa yaitu, Pura Beji, Pura Ayu Emas, Pura Prajapati, Pura Belumbang, dan Pura Subak. “Wewidangan desa adat kami luwas dan krama juga terus berkembang, sehingga beban tanggung jawab juga cukup berat terutama dalam menjaga kelestarian parhyangan yang sudah kami warisi,” katanya.

Dalam menjalankan tanggung jawab krama, Kelian Desa Adat Gunung Luwih Pasek Arjana menyebut, dengan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali yang menggulirkan BKK setiap tahun, maka krama desanya telah merasakan manfaatnya. Beban krama desa terutama saat melaksanakan upacara dan piodalan sekarang menjadi ringan karena desa adat memanfaatkan kucuran BKK Pemprov Bali.

Baca juga:  Potensi Likuifaksi Perlu Disikapi dengan Ilmiah dan THK

Selain itu, untuk menjaga kelestarian prayangan yang diwarisi, krama desa sekarang tidak lagi dikenakan urunan ketika desa adat melakukan rehab atau pembangunan parhyangan. Ini bisa dilakukan karena desa adat memanfaatkan anggaran BKK Pemprov Bali dan juga sumber bantuan dari pihak lain.

Pembangunan fisik pada baga prayangan yang telah dilakukan adalah membangun Bale Pedatangan di Pura Dalem. Program ini tunats dijalankan tahun 2021 yang lalu. “Pembagunan fisik pada baga prayangan sudah kami jalankan dan krama desa adat dibantu karena dalam pembangunan ini krama desa tidak lagi membayar iuran, sebab kami gunakan dana BKK dan bantuan lain. Mudah-mudahan kebijakan yang sangat meringankan ini berlanjut dan kami di desa adat siap mendukung,” tegasnya.

Baca juga:  Sinergi Pemkab Buleleng dan Kodam Udayana, Ratusan Rumah Tak Layak Huni Digarap

Selain itu, program di baga palemahan, Pasek Arjana menyebut, desa adat menjalankan beberapa program seperti, rehab wantilan desa adat. Pengelolaan sampah plastik. Kemudian melaksanakan program perlindungan mata air baik sungai dan danau. Menata kawasan, setra (kuburan-red), membentuk Baga Usaha Padruwen Desa Adat (BUPDA), dan menggulirkan Bulan Bahasa dan Aksara Bali.

Termasuk melaksanakan program pembinaan kepemangkuan dan serati banten. “Kami di desa adat menjalankan semua program yang sudah digariskan itu dan semua itu program itu untuk melestarikan dan menjaga eksistensi desa adat, mudah-mudahan ke depan ditingkatkan lagi, sehingga sasaran program bisa lebih banyak bisa kami gulirkan,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN