Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh I Dewa Gde Satrya

”Tak kudengar lagi suara Bung Karno Muda, Tak kudengar lagi suara Bung Hatta muda, Tak kudengar lagi suara Sutan Sjahrir muda, di mana mereka, ada padamu pemuda”. Sepenggal lagu lama karya grup band fenomenal asal Surabaya “Jangan Asem” mengisyaratkan kerinduan sosok kaum muda Indonesia era milenium kedua.

Nama Bung Karno, bersama Bung Hatta, terpatri di sanubari anak bangsa. Radikalitas yang dulu diyakini ada pada sosok Soekarno, Hatta, Sjahrir dan founding fathers lainnya, kini semakin identik dengan ketidakmampuan menyalurkan ‘kegelisahan’ dengan hal-hal yang konstruktif.

Sebagai antitesa atas radikalitas tersebut, dan diharapkan menyatu dalam sanubari mahasiswa serta kaum sarjana adalah dimensi radikalitas lain yang juga dibutuhkan terkait dengan segenap daya insani
untuk memberikan nilai lebih dan kemanfaatan optimal bagi masyarakat luas lewat suatu karya, produk maupun jasa.

Bulan Juni dirayakan sebagai bulan Bung Karno, salah satunya ditandai dengan peringatan hari lahir Sang Proklamator, 6 Juni 1901 di Kampung Pandean, Surabaya. Dalam konteks ini patut diberi penekanan kecendekiawanan Bung Karno, tidak sekadar proklamator sekaligus presiden pertama RI.

Baca juga:  Inspirasi Kepemimpinan Heroik Bung Karno

Salah satu produk kejernihan pemikiran Bung Karno
adalah rumusan Pancasila. Sebuah sintesa atas
pertanyaan-pertanyaan kebangsaan yang menjadi pondasi bangsa ini, Pancasila merupakan
temuan ilmiah yang aplikatif dan mendalam.

Kalaman ini tidak terlepas dari pemikir, penemu dan perumusnya. Sebagai seorang cendekiawan, maka kenegarawanan Bung Karno mengatasi aneka kepentingan terbatas, dan mengarahkan

sepenuhnya demi kejayaan bangsa, kemanusiaan
yang universal dan keadilan di antara bangsa-bangsa di dunia. Spirit inilah yang patut digemakan saat ini,
di tengah kedangkalan peran cerdik pandai, kepentingan terbatas ilmu pengetahuan, dan
akhirnya kejahatan yang sepatutnya tidak layak dilakukan kalangan cerdik pandai.

Sebuah pertanyaan mendasar yang kerap diarahkan di
kalangan kaum cerdik pandai, “apakah orang semakin terdidik, maka semakin berpeluang untuk melakukan tindak kejahatan?” Oleh karena dengan bekal latar belakang pendidikannya itu,mereka mendapatkan akses peluang pekerjaan atau jabatan pada area penting serta bergengsi di masyarakat.

Baca juga:  Rasa Aman Palsu

Edwin Hardin Sutherland mempopulerkan istilah white-collar crime dalam presentasi di pertemuan ke-34 para ilmuwan sosiologi Amerika di Philadelphia pada 27 Desember 1939. Tiga puluh delapan tahun sebelum Sutherland mengemukakan pidatonya itu, Henderson yang waktu itu mengajar di University of Chicago telah berbicara tentang “Educated Criminals”.

Isitlah itu yang kemudian direinkarnasikan oleh Sutherland. Yang menarik adalah sudut pandang Henderson bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi dasar bangunan moral yang kokoh, ternyata membuka jalan untuk pelbagai kejahatan yang besar (colossal). Tidaklah mengherankan kalau para “penjahat terpelajar” ini menyaru sebagai manusia-manusia terhormat.

Edward Alsworth Ross (pengajar Stanford) pada 1907 menggambarkan para penjahat korporasi sebagai manusia-manusia yang tidak peka moralnya (moral insensibility), berdasa muka: memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang berhati sosial, patuh pada agama, dan di rumah memperlihatkan diri sebagai seorang ayah yang patut dicontoh.

Tetapi, di belakang itu semua para pemimpin korporasi ini sebetulnya adalah manusia-manusia yang tidak bermoral, yang pada waktunya tidak segan untuk menyuap para birokrat dalam pemerintahan, menghindari pajak. Roy Eyerman dalam bukunya “Intellectuals” (1992), menyebutkan bahwa batu ujian kecendekiawanan seseorang atau kelompok orang
hanya dapat diukur dalam bingkai budaya, yaitu
apakah memberikan sumbangan pencerahan,
pencerdasan dan transformasi humanisasi pada
masyarakatnya.

Baca juga:  Gubernur Koster Wakili Keluarga Bung Karno Terima Penghargaan Outstanding Lifetime Achievement Award untuk Ir. Soekarno

Artinya, ketika kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan mampu diatasi dengan analisa ilmu sampai pada strukturalisasi politisnya di tangan para pengambil keputusan politis untuk penyejahteraan rakyat banyak, maka di sanalah cendekiawan transformatif sah disebut cendekiawan. Mengenang hari lahir Bung Karno dan merayakan bulan Juni sebagai bulan Bung Karno tidak sekadar perayaan tanpa makna.

Sebagaimana ungkapan para pemuka masyarakat, jangan mewarisi abunya, tetapi warisilah api (semangat) para pendiri Republik ini. Maka mari meneladani kecendekiawanan Bung Karno yang telah teruji dalam sikap kenegarawanan semasa hidupnya.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *