Seorang petani memeriksa bibit padinya yang telah tertanam di Renon, Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Isyarat krisis pangan yang berpotensi melanda dunia hendaknya juga menjadi perhatian serius para pengambil kebijakan di Bali. Proteksi sektor pertanian di tengah maraknya pengembangan infrastruktur kepariwisataan ke daerah penyangga pertanian harus dilakukan. Mitigasi kebutuhan bahan pangan di Bali lima tahun ke depan hendaknya segera dilakukan.

Pesan itu disuarakan dua pakar pertanian Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. Nyoman Supartha, M.S., M.M., IPU, ASEAN.Ing. dan Dr. GN Alit Susanta Wirya kepada Bali Post, Kamis (19/5). Para pakar ini berpandangan bahwa Bali sangat terbuka peluang mengalami krisis pangan. ‘’Bali berpotensi mengalami krisis pangan mengingat lahan pertanian makin menyusut dan terjadi stagnasi pengembangan produksi sektor pertanian khususnya padi. Jika ini tak segera dikendalikan maka bayang-bayang krisis pangan akan menguat,’’ ujar Prof. Supartha.

Dikatakannya, sawah menyusut, produksi juga nyaris tak bisa berkembang. Maksimal hanya 6,5 ton per hektare. Di lain pihak, pendekatan teknologi juga sudah nyaris mentok. Berbagai pendekatan teknologi untuk memacu produksi padi hasilnya kurang menggembirakan.

Baca juga:  Hujan Lebat, Tembok Kantor Desa Bongan Ambrol

Di sisi lain, kata Prof. Supartha, ada kecenderungan penikmat pangan di Bali akan terus meningkat karena Bali sebagai destinasi pariwisata. Pemerintah harus segera mengantisipasi cadangan pangan di Bali, jika pariwisata pulih.

Kebutuhan pangan lokal memang terasa aman karena ada suplai dari luar pulau Bali dan impor. Jika nanti ada pembatasan dan produksi mereka habis untuk dikonsumsi, Bali akan sulit memenuhi kebutuhan berasnya.

Selain pangan berupa padi, kebutuhan pangan dari sisi peternakan dan perkebunan juga harus mulai dihitung. Pemetaan produksi harus dilakukan.
Pendataan kebutuhan dan kemampuan produksi Bali harus segera diseimbangkan. ‘’Data, kajian, dan solusi di sektor pertanian harus benar-benar merujuk
hasil dan kebutuhan pangan di Bali,’’ sarannya.

Sementara itu, Susanta mengingatkan langkah proteksi sektor pertanian harus dilakukan. Pengembangan kawasan pariwisata yang menyasar kawasan penyangga pertanian harus benar-benar dikendalikan. ‘’Pengembangan kepariwisataan hendaknya sejalan dengan pengawalan terhadap lahan pertanian. Menjadikan budaya sebagai hulunya kepariwisataan Bali, maka pengawalan pertanian harusnya menjadi program strategis juga,’’ sarannya.

Baca juga:  Sidak Disdagprin Buleleng Tidak Temukan Ikan Kaleng Mengandung Cacing

Pengawalan terhadap Bali dan kearifan lokalnya hendaknya dilakukan. Kini, di tengah isu krisis pangan, maka Bali harus membentengi diri. Pengembangan ekonomi hendaknya sejalan dengan proteksi kawasan produksi di sektor pertanian.

Pengembangan kawasan Ubud, Tegallalang dan Payangan (Ulapan)di Kabupaten Gianyar, menurut Alit Susanta Wirya mestinya disosialisasikan secara utuh untuk menjaring sumbang saran dari berbagai komponen. Dukungan pusat terhadap kebangkitan Bali memang patut diapresiasi.

Dukungan ini hendaknya memperkuat posisi Bali sebagai destinasi pariwisata namun juga tetap tanggguh dalam swasembada pangan. Namun, Kesimbangan alam dan upaya-upaya mengejar pertumbuhan ekonomi harus dilakukan secara arif. “Jangan sampai lahan pertanian dikorbankan,’’ ujarnya.

Ia berpandangan Bali juga wajib mengantisipasi krisis pangan mengingat potensi peningkatan penikmat pangan di Bali di tengah menurunnya produksi pertanian harus diwaspadai. Terlebih belakangan ini anomali musim menguat.

Baca juga:  Pasien COVID-19 di Jembrana Tembus 200 Orang, Pasien Terbaru Miliki 2 Gejala Ini

Dijelaskan juga di tengah gejolak instabilitas politik global belakangan ini, besar kemungkinan terjadi gangguan distribusi produk pangan impor. Terlebih, suplai kebutuhan bahan pangan di Bali dari sisi impor masih lumayan tinggi.

Jika nantinya terjadi hambatan dalam sektor ini, kedua pakar pertanian Unud ini mengingatkan agar segera dilakukan pemetaan potensi dan pendekatan pengembangan produk pertanian lokal dan strategi pasarnya.

Mitigasi kebutuhan pangan di Bali juga harus segera dilakukan. ‘’Pendekatan keseimbangan antara pariwisata dan pertanian kini harus dilakukan secara arif. Pembebanan atau fokus berlebihan pada salah satu sektor antara pariwisata dan pertanian, akan membuka ruang terjadinya alih fungsi lahan yang makin masif. Terlebih belakangan penyelamatan Bali mengarah pada upaya-upaya pengembangan investasi dan infrastruktur. “Budaya sebagai hulu pariwisata mestinya identik dengan strategi penyelamatan lahan dan produksi pertanian Bali,’’ tegasnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN