Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Berbicara masalah perempuan kita akan selalu teringat pada R.A. Kartini. Perempuan mulia yang telah berjasa memperjuangkan sesamanya dalam mendapatkan kedudukan yang setara dengan kaum laki-laki dalam bidang pendidikan khususnya. Ibu Kartini sangat prihatin dengan kondisi dan posisi perempuan di jamanya yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum lelaki dalam pendidikan. Tanpa perjuangan Ibu Kartini dulu, perempuan jaman now belum tentu mampu berkiprah seperti sekarang.

Di zamannya, para perempuan lebih diidentikkan dengan urusan logistik rumah tangga, jarang dan bahkan sangat sulit bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan meraih kedudukan yang tinggi. Perempuan diibaratkan sebagai manusia kelas dua atau bawahan (subordinate) dibandingkan dengan kaum lelaki. Dahulu perempuan dikatakan sebagai makhluk yang dijajah pria. Dalam arti kaum lelaki lebih berkuasa dalam banyak hal, termasuk berkuasa terhadap perempuan (superordinate), sehingga perempuan lebih identik dengan manusia lemah dan tak berdaya, yang lebih menjadi pemuas lelaki, “manut” pada suami, melahirkan anak dan mengurus keluarga.

Baca juga:  Satu Kemunculan

Pada zaman now, perempuan mampu berbuat banyak dan seluas-luasnya, sama halnya dengan para lelaki dalam berbagai sektor kehidupan. Pemerintah juga menegaskan perlunya partisipasi perempuan dalam berbagai lini untuk kemajuan bangsa. Dapat dikatakan bahwa perempuan sudah mendapatkan tempat setara dengan kaum lelaki dalam semua sendi kehidupan yang mampu meningkatkan harkat dan martabatnya. Untuk menjadi perempuan yang bermartabat, yang memiliki derajat dan kedudukan terhormat,  perempuan hendaknya mampu menjaga dan meningkatkan kualitas dirinya.

Pendidikan adalah salah satu yang dapat meningkatkan kualitas perempuan, seperti yang diperjuangkan R.A. Kartini. Melalui pendidikan, perempuan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, yang dapat menjamin kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, para orangtua yang memiliki anak perempuan sudah selayaknya untuk memberikan kesempatan yang sama bagi anak perempuan untuk memiliki pendidikan yang tinggi. Jangan ada lagi stigma bahwa anak perempuan cukup sekolah tamat SD, SMP atau SMA karena akan menjadi milik orang lain (menikah).

Baca juga:  Marketplace Pemerintah dan Akuntabiltas Sektor Publik

Sudah saatnya para orangtua sadar bahwa dengan memberikan kesempatan yang sama bagi putra-putrinya, mereka kelak akan menjadi pribadi yang mandiri yang bukan hanya tergantung pada laki-laki dalam menanggung hidupnya, melainkan perempuan bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarganya. Selain pendidikan, perempuan dapat meningkatkan martabatnya melalui kinerja, baik di sektor formal dan non formal. Dengan kinerja di sektor formal dan non formal ini, perempuan dapat berpartisipasi di sektor ekonomi yang mampu meningkatkan kualitas dan kesejahteraan diri dan keluarga.

Baca juga:  Puluhan Tahun Mengabdi di Gianyar

Semakin luas pergaulan semakin banyak budaya yang diketahui. Namun demikian, kita tidak boleh terperangkap dengan membawa budaya yang tidak sesuai dengan adat istiadat ketimuran, seperti pergaulan bebas (seks bebas) sebelum menikah yang mengadopsi budaya barat. Dalam berinteraksi tersebut perempuan harus menjaga tutur dan tingkah lakunya, agar tidak mengalami pelecehan ataupun kekerasan seksual. Saat ini banyak pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami perempuan. Bahkan pelecehan seksual pun masuk ke ranah lingkungan pendidikan formal. Salah satu faktor penyebab adalah perempuan “mengizinkan” atau memberi peluang hal itu terjadi.  Oleh karena itu, perempuan harus menjadi pribadi yang kuat dan tegas yang bukan hanya mengetahui dan menghayati perilaku bermoral (moral knowing and moral feeling), namun mampu mengamalkan tindakan bermoral (moral acting).

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *